KITA







Selasa, 26 November 2013

Anak Pra-Sekolah dan Anak Sekolah

MAKALAH
ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Anak
Dosen : dra. Siti Hartini
Description: F:\upy-color.jpg









Kelompok  2:
1.    Nurhayati                               (12144600084)
2.    Deny Nugroho                       (12144600092)
3.    As Janah Verawati                 (12144600094)
4.    Linda Astuti                           (12144600096)
5.    Angga Budi Saputra               (12144600102)
6.    Verina Septiarni                     (12144600103)
7.    Nining Purwaningsih              (12144600104)
8.    Cornelius Pandu Laksono      (12144600107)
9.    Sutina Sukmawati Noning      (12144600110)
10.                    Dita Diyanti                             (12144600118)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2012



KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini pada waktunya. Makalah Psikologi Anak yang berjudul “ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH”  merupakan hasil diskusi penulis yang disusun untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah berikutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk lebih memahami materi kuliah Psikologi Anak tentang anak pra-sekolah dan anak sekolah.

Yogyakarta, Desember 2012
Penulis







BAB II
PENDAHULUAN

            Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena pada hakekatnya manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan tidak langsung dapat berdiri sendiri, dapat memelihara dirinya sendiri. Manusia pada saat lahir sepenuhnya memerlukan bantuan orang tuanya. Karena itu pendidikan merupakan bimbingan orang dewasa mutlak diperlukan manusia. Sebagai makhluk yang secara kodrati dianugrahi akal pikiran, manusia merupakan sosok makhluk yang memiliki kesadaran dan rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang dihadapi dan dialami dalam kehidupannya Berbagai cara dan usaha dilakukan manusia untuk memenuhi rasa ingin tahunya tersebut, sehingga kalau mungkin berbagai hal dalam hidupnya ingin diketahuinya. Baik itu segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya, tujuan hidupnya, darimana ia berasal, dan ia juga ingin mengetahui banyak tentang lingkungan hidupnya, dan bagaimana memanfaatnkannya.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan hasil belajar yang baik maka seorang pendidik/guru harus memiliki ilmu pendidikan agar mampu melakukan proses belajar mengajar mampu menerapkan teori belajar dalam kelas. Demikian pula pendidikan pra-sekolah dan sekolah yang menjadi pondasi dasar dalam pendidikan. Jikalau seorang  pendidik/guru tidak terarah dan tidak mampu menerapkan teori belajar yang efektif dalam kelas maka pondasi itupun akan keropos bahkan runtuh. Banyak pendidik/guru yang mengabaikan hal ini. Menganggap mudah dalam memfasilitasi proses belajar pada pra-sekolah dan sekolah. Baik dari segi bobot ilmu maupun pendidikan moral serta karakter. Dalam praktek di lapangan, pendidikan pra-sekolah dan sekolah sangat membutuhkan dasar ilmu yang berkesinambungan dan terangkum.
Ilmu pendidikan adalah ilmu yang mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses dan cara dalam pendidikan moral pada anak-anak yang diterapkan sejak pendidikan pra-sekolah dan sekolah. Dengan demikian diharapkan pendidikan pra-sekolah dan sekolah mampu menjadi landasan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi-potensi peserta didik yang menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.








BAB II
ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH

A.       Perkembangan Jasmani dan Psiko-motorik
             Sebagai akibat bertambahnya differetsiasi dan myelinisasi (myline adalah suatu zat seperti lemak dalam sumsum tulang belakang dan urat syaraf) dalam susunan urat syaraf maka kecakapan-kecakapan motorik bertambah banyak. Pada umur 5 tahun keseimbangan badan anak sudah berkembang cukup baik, anak sudah pandai berjalan, dapat naik tangga, meloncat dari tanah dengan kedua kakinya bersama-sama dan sering juga sudah dapat bersepeda.
            Menurut Sheldon pembagian bentuk badan menjadi 3 tipe yaitu; tipe endomorf (pendek dan gemuk), tipe ektomorf (panjang dan kurus), dan tipe mesomorf (urat-urat daging kuat dengan proporsi yang baik).

B.        Emansipasi karena pendidikan formal
            Sejak lama kriteria bagi anak untuk dapat diterima di sekolah dasar adalah “kemasakan” dahulu sebelum ia diterima di sekolah dasar yaitu 7 tahun.
kriterianya:
1.      Anak harus dapat kerjasama dalam kelompok dengan anak-anak lain
2.      Anak harus dapat mengamati setara analitik
3.      Anak secara jasmaniah harus sudah mencapai bentuk anak sekolah

C.       Perkembangan Sosial dan Kepribadian
Perkembangan sosial dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial.
Perkembangan sosial dan  kepribadian  meliputi:
1.     Interaksi dengan anak-anak sebaya
Hartup(9170) telah mengumpulkan hasil-hasil penelitian mengenai pertanyaan apa yang sampai sekarang telah di ketahui mengenai pengaruh timbal balik. Anak biasanya berusaha untuk menjadi anggota suatu kelompok. Hartup menemukan bahwa kebanyakan penelitian mengenal pengaruh timbal balik dilakuakan pada anak-anak sekolah. Pada penelitia-penelitian dalam Taman Kanak-Kanak, misalnya mengenai tingkah laku agresif dan altruistik ternyata bahwa belajar model menempati tempat yang penting. 
Penelitian mengenai Konformisme juga merupakan studi yang penting. Secara teoritik dapat sebgain dihubungkan dengan pendapat Piaget yang mengemukakan menganai stadium-stadium dalam kesadaran peraturan. Dapat diduga bahwa sebetulnya bukan faktor umur yang penting, melinkan lebih penting adalah keadialan keliling, jenis kelamin, dan tingkahlaku yang digunakan untuk meneliti konformisme itu.
Hubungan lain yang diduga ada adlah antara urutan kelahiran dalam keluarga dan besar kecilnya kepekaan pengaruh oleh teman-teman sebaya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut:
a)      Anak-anak sulung diduga menerima pendidikan yang lebih berubah-ubah dibanding dengan adik-adiknya.
b)      Anak-anak sulung lebih menerima perlindungan, disamping itu maka tingkahlaku yang konfrmistis dan tergantung endapat pujian.
Sebagai ringkasan dapat dikemukakan bahwa konformisme tadi lebih ditentukan oleh faktor-faktor situasional dari pada oleh sifat-sifat kepribadian anak.
 Dapat mempengarugi suatu tinjauan yang penting mengenai tingkah laku agresif telah dilakukan oleh Patterson (1967). Dalam penelitian ini dilihat sampai berapa jauh anak-anak prasekolah saling mempengaruhi tingkah laku agresif.
Spontanitas vs Sikap terkontrol
Haaditono (1974) menemukan bahwa sikap seppontan atau atau tidak sepontan anak-anak prasekolah mungkin dipengaruhi oleh sifat suatu kebudayaan tertentu.  Presepsi anak terhadap perintah dan larangan itu yang mungkin lebih pentig dari pada perintah atau larangannya sendiri.
2.    Perkembangan motivasi prestasi
Salah satu aspek kepribadian seseorang yang peling banyak diteliti adalah mengenai motifasi prestasi. Harus dibedakan antara kebutuhan dan motif. Kebutuhan merupakan dasar timbulnya motif. Misalnya seorang anak yang lapar mencari makanan, akan mempunyai motif-motif banyak untuk mendapatkan makanan yang diinginkan tadi. Atau anak yang suka jajan akan timbul motif-motifnya untuk mendapat memenuhi kesukaan atau kebutuhannya itu.
Pada umumnya dibedakan antara motifasi yang intrinsik dan yang ekstrinsik. Motifasi yang intrinsik bearati bahwa suatu perbuatan memang diinginkan karna seseorang senang melakukannya atau tidak. Sebaliknya motifasi ekstrinsik berarti bahwa suatu perbuatan dilakukan atas dasar dorongan atau paksaan dari luar.
Suatu motif mempunyai tiga macam unsur meliputi:
a)      Motif mendorong terus, memberikan energi pada suatu tingkahlaku(merupakan dasar energetic).
b)      Motif menseleksi tingkahlaku, menentukan arah apa yang akan dilakuakan dan tidak akan dilakukan
c)      Motif mengatur tingkahlaku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan.
Dalam setiap motif dapat diketemukan kembali 2 struktur dasar. Pada satu pihak pengharapan akan sukses dan pada lain pihak ketakutan akan gagal. Tinjauan-tinjauan yang mendalam mengenai timbulnya motif prestasi telah dilakukan oleh Heckhansen dkk (1962). Heckhansen dapat menunjukan dengan jelas adanya komponen-komponen tertentu ddalam timbulnya motifasi prestasi. Dorongan untuk melakukan hal-hal sendiri harus dipandang sebangai perlopor pelaku motifasi yang sesungguhnya.
Penelitian Heckhansen dan Rowelofsen (1962) menemukan bahwa anak-anak yang sehat pada usia 3,5 tahun menunjukan semua ciri-ciri tingkahlaku kompetisi. Penaksiran mengenai prestasi orang lain ini menyebabkan anak mencoba untuk melakukannya lebih cepat dan lebih baik.
Ini  adalah ciri-ciri motifasi prestasi yaitu melakukan sesuatu lebih baik dibanding dengan suatu standar keunggulan. Standar keunggulan tadi dapat berhubunag dengan :
a)      Dalam hubungan dengan prestasi orang lain artinya anak berbuat lebih baik daripada apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
b)      Dalam hubungan dengan prestasi sendiri yang lampau berarti bahwa anak ingin hidup melebihi prestasinya yang laku, ingin menghasilkan lebih baik daripada apa yang telah dihasilkan semula
c)      Dalam hubungan dengan tugasnya berarti bahwa ia ingin menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin
Menurut Haditono stimulasi dari ibulah pemebntukan motif prestasi yang lebih berperan. Anak usia 3,5 tahun telah mampu untuk menghubungkan berhasil atau tidaknya suatu perbuatan dengan diriya sendiri. Memberika kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap berdiri sendiri adalah hal yang penting.
3.         Perkembangan Identitas Jenis Kelamin atau Tingkah Laku Sesuai dengan Jenis Kelamin
Menurut Jans (1973) faktor  penting dalam tingkah laku tersebut yaitu faktor biologi, faktor sosial dan faktor kognitif. Kohbreg (1966)  menerangkan  tiga cara mengenai tingkah laku spesifik jenis kelamin yaitu teori psikoanalisa (identifikasi dengan perintah-perintah dan larangan-larangan orang lain terhadap tingkah laku jenis kelamin anak), teori belajar sosial (jenis kelamin timbul karena adanya pengaruh sosial) dan teori perkembangan yang kognitif (mengenali diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan). Faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkahlaku spesifik jenis kelamin merupakan proses-proses belajar sosial sejak awal telah menyumbang pada kenyataan bahwa identitas jenis kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu melalui penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau anak perempuan.
4.    Perkembangan Pengertian Norma
Perkrembangan Pengertian Norma atau moraliatas merupakan hal  yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Menurut pendapat psikoanalisa ada 3 bagian dalam diri seseorang yang akan berkembang menurut urutan sebagai berikut: das Es, das Ich dan das Ueber Ich. Das Es yaitu impuls-impuls nafsu. Das Ich lalu menjaga supaya hubungan dengan realitas dapat dikoordinasi dan akhirnya das Ueber Ich merupakan bagiannya yang membawakan norma-normanya, perinteh-perintah dan larangan-larangannya yang diberikan oleh dunia keliling.Ueber Ich harus di pandang sebagai suatu instansi dengan norma-norma yang telah di internalisasi atau diintroyeksi. Norma-norma ang ada pada Ueber Ich bukan hanya norma-norma yang berasal dari ayahnya saja, melainkan juga norma-norma yang datang dari orang-orang lain.
Pendekatan yang kognitif menitik beratkan akan faktor-faktor pengertian dan pemahaman. Sudah dalam tahun tiga puluhan Piaget mengadakan penelitian yang sistematik mengenai fenomena-fenomena kata hati. Menurut Piegat harus di mulai dengan aturan-aturan, misalnya aturan permainan, karena aturan mengandung arti menghormati, horma terhadap orang lain. Penemuan-penemuan Piaget yang penting disini ialah bahwa anak memiliki pendapat-pendapat yang absolut dan penilaian-penilaia yang absolut. Piaget mempunyai metode apa yang disebut cerita-ceruta fiktif. Dalam cerita-cerita ini selalu nampak suatu akibat sesuatu maksud yang baik dan maksud yang tidak baik.        
Teori yang dikembangkan oleh Piaget ini dikembangkan dan diberikan dasar teoritis yang lebih baik oleh Kohlberg (1963). Menurut Kohlberg perkembangan insan kamil melalui 6 stadium (tingkatan) dan stadium-stadium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang universal. Stadium-stadiumnya adalah sebagai berikut:
Stadium 1. Menurut untuk menghindari hukuman
Stadium 2. Anak bersifat konformistis untuk memperoleh hadiah untuk di pandang baik
Stadium 3. Anak bersifat konfrmistis untuk menghindari celaan dan untuk disenangi orang lain
Stadium 4. Anak bersifat konformistis untuk mengindari hukuman yang diberikan bagi beberapa tingkahlaku tertentu dalam kehidupan bersama.
Stadium 5. Konformitas sekarang dilakukan karena menginginkan kehidupan bersama yang diatur.
Stadium 6. Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar, melainkan karena keyakinan sendiri ingin melakukannya.
Akhirnya pendapat teori belajar mengemukakan bahwa semua tingkah laku adalah tingkah laku yang dipelajari. Teori ini menolak dengan tegas bahwa manusia mempunyai suatu sifat bawaan, baik itu sifat yang baik maupun yang tidak baik. Menurut pendapat ini maka kata hati merupakan suatu sistem norma-norma yang telah diinternalisasi (merasuk menjadi milik pribadi seseorang). Hal ini berarti bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma tadi meskipun tidak ada kontrol dari luar. Apa yang dulu dilakukan atas dasar hadiah , reinforsemen atau hukuman dari luar, sekarang dialihkan ke dalam. Norma-norma yang sudah diinternalisasi tadi membuat anak makin dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.

D.       Perkembangan Kognitif
Dalam prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan dan bentuk-bentuk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi tingkah laku-tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan.
1.      Pengertian-pengertian pokok dalam teori perkembangan Piaget
Teori Piaget bayak dipengaruhi oleh biologi dan epistemologi (ajaran mengenai pengenalan). Biologi : dalam teorinya Piaget banyak menggunakan banyak pengertian-pengertian yang langsung diambil dari biologi. Epistemologi : perhatian-perhatian terhadap cabang ilmu pengetahuan ini antara lain nampak dalam penelitian empiric terhadap timbulnya pengertian-pengertian atau konsep-konsep waktu, ruang, kausalitas, dan kesadaran akan aturan.
Piaget beranggapan bahwa bahwa setiap organism hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu :
a)      Adaptasi dan tendensi, yaitu kecenderungan bawaan setiap organism untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kecenderungan adaptasi ini mempunyai dua komponen atau dua prosdes yang komplementer, yaitu :
1)      Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk merubah lingkungannya guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri.
2)      Akomodasi, yaitu kecenderungan organisme untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan kelilingnya.
b)      Kecenderungan organisasi, yaitu kecenderungan bawaan setiap organism untuk mengintegrasi proses-prosesnya sendiri menjadi system-sistem yang koheren.
Prinsip ekuilibrium atau keseimbangan yang bersifat biologic menjaga agar perkembangan bukan merupakan hal yang tidak karuan, melainkan suatu proses yang teratur. Proses-proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu berusaha mencapai keadaan yang seimbang lagi.
Werner dan Piaget beranggapan bahwa perkembangan  itu berlangsung melalui rencana yang sudah ada sejak lahir dan akhirnya mencapai suatu bentuk akhir yang baik.
 Pada proses adaptasi terdapat proses interaksi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan. Pengertian keseimbangan menunjuk pada relasi antara individu dan kelilingnya, terutama pada relasi antara struktur kognitif individu dan strutur kelilingnya. Disini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam kelilingnya untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak lagi harus menubah dirinya sendiri untuk mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru.
Struktur psikologis atau skema terdapat adanya dua macam proses, yaitu aaptasi dan organisasi. Analogi yang ditunjukkan oleh Piaget dalam nivo tingkah laku dikemukakan dengan pengertian “struktur psikologis” atau “skema”. Ia membedakan antara skema-skema sensori motorik atau juga skema-skema tingkah laku dan skema-skema operasional dan jugaskema-skema kognitif.
Skema adalah suatu abstraksi dari aktivitas manusia, bukan sesuatu yang dapat ditunjukkan secara konkrit dengan salah satu cara pada salah satu tempat tertentu. Semua tingkah laku anak masih harus dipandang sebagai hal yang diterima secara sensorik dan suatu reaksi yang motorik saja..
Pengertian skema atau struktur psikologik adalah sedikit banyak kompleks. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan pola-pola tingkah laku yang teratur, melainkan juga berhubungan dengan pola-pola berfikir yamng telah diinternalisasi. Suatu skema meungkinkan anak untuk mempelajari renspons-respons baru. Hal ini disebabkan oleh proses akomodasi. Skema-skema tertentu yang yang ada serta bergaul dengan lingkungan memberikan sumbangan yang besar dalam menambah luasnya pengertian anak.
2.       Representasi dunia dan stadium-stadium dalam perkembangan kognitif
Permanensi obyekatau formasi obyek merupakan suatu langkah yang penting dalam penyusunan gambaran dunia. Hal ini juga meupakan persyaratan yang mutlak untuk dapat memperlakukan obyek-obyek dari keliling secara simbolis. Formasi simbol ini yang mulai berkembang pada usia kurang lebih 18 bulan memungkinkan anak untuk melihat benda-benda sebagai penunjuk sesuatu yang lain.
Schenk - Danziger (1972) mengemukakan bahwa pengertian akan simbol-simbol serta memiliki tanggapan-tanggapan terjadi bersama-sama dengan perkembangan bahasa serta permainan peranan. Ia  juga mengemukakan bahwa permainan peranan mempunyai ciri-ciri yang juga merupakan persyaratan bagi pemakaian bahasan dan bekerja dengan simbol-simbol, yaitu :
a)      Sikap memperlakukan hal-hal dengan “pura-pura”
b)      Adanya formasi symbol atau pembentukan pengertian yang semaunya (metamorfosa benda-benda)
c)      Mengenakan sifat-sifat manusia pada benda atau hewan (antropomorfisme)
d)     Merubah peranan manusia secara fiktif
e)      Imitasi tingkah laku atau rangkaian tingkah laku
Representasi dunia luar ke dalam diri sendiri dan dengan begitu cara berfikir mengenai dunia luar berjalan sebagai berikut :
a)      Bayangan (image), merupakan representasi pertama suatu kejadian dan tidak merupakan pencerminan fotografis yang eksak.
b)      Symbol, merupakan suatu bentuk representasi lain, tidak hanya berkisar pada bunyi yang khas atau bau yang khas dengan artinya yang khas. Simbol justru melebihi kejadian yang khas dan menunjuk pada suatu yang lain daripada hal yang sesungguhnya.
c)      Konsep (ingatan), merupakan langkah pertama yang penting ke arah kesadaran akan aturan.
d)     Aturan, merupakan suatu hubungan antara dimensi dua pengertian atau lebih. Ada aturan yang formal dan ada yang tidak normal. Aturan-aturan formal berdasarkan hokum-hukum alam, sedangkan aturan-aturan tidak formal berdasarkan perjanjian atau pengalaman.
Menurut Piaget perkembangan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa stadium, artinya fungsi kognitif pada usia yang berlainan dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain.
a)      Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan-tindakan konkrit dan bukan imaginer atau hanya dibayangkan saja. Dari observasi yang telah dilakukan Plaget, bahwa selama stadium sensori motorik terdapat perkembangan proses desentrasi, artinya anak dapat memadang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua identitas yang berbeda.
b)      Stadium pra-operasional(18 bulan- 7 tahun).
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa, yang sistematis, permainan simbolis, imitasi (tidak langsung ) serta bayangan dalam mental. Berfikir pra-operasional masih  sangat egosentrik atau sangat memusat(centralized), Anak belum mampu (secara preseptual, emosional-motivational, dan konseptual) untuk mengambil prespektif orang lain. Berfikir pre-oprasional adalah tidak dapat dibalik(irreversable), maksudnya yaitu anak belum mampu meniadakan suatu tindakan suatu tindakan dengan melakukan tindakan tersebut sekali lagi secara mental dalam arah yang sebaliknya. Dapat dikatakan juga bahwa berfikir pra-operasional adalah terarah statistik.
c)      Stadium operasional konkrit(7-11 tahun)
Pada stadium ini sifat egosentrik anak sudah berkurang ditandai dengan desentrasi yang besar, dan anak telah mampu mengerti operasi logisnya reversebilitas, yaitu mampu memandang suatu tindakan dari arah yang sebaliknya. Kekurangan stadium ini yaitu anak telah mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu(=operasi) tetapi hanya dalam situasi-situasi yang konkrit.
d)     Stadium operasional formal (mulai 11 tahun)
Sifat berfikir operasional formal atau proporsional yaitu:
1)      Sifat deduktif-hipotesis, bila anak yang berfikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya.
2)      Berfikir opersional juga berfikir kombinatoris, sifat ini merupakan kelengkapan dari sifat yang pertama dan berhubungan denagn cara bagaimana dilakukan analisanya.
Berfikir operasional formal memungkinkan orang mempunyai tingkah laku “problem solving” yang betul-betul ilmiah, sserta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesa dengan variabel-variabel tergantung.
e)       perpindahan dari berfikir pra-operasional ke operasional konkrit
Anak usia 5-7 tahun belum dapat menilai dua macam dimensi yang berbeda (keseluruhan dan bagian) dalam satu situasi pengamatan yang sama. Mulai usia 7 tahun anak makin dapat mengadakan klasifikasi secara hierargik dan memperoleh pengertian dalam inklusi-kelas. Namun hal ini hanya dapat dilakukan bila bahan-bahannya adalah konkrit. Dan saat mulai usia 11 tahun anak mampu untuk mengadakan klasifikasi secara tepat, juga mengenai hal-hal yang tidak konkrit.  

3.        Kekuatan (motor) perkembangan.
Tinjauan singkat mengenai stadium-stadium perkembangan kognitif. Anak dapat beralih dari stadium satu ke stadium lain dan hubungannya dengan perkembangan dan belajar adalahdengan faktor-faktor yang menurut pieget akan memegang peranana yang penting dalam perkembangan inteligensi. Pendapat oprganismis mengatakan bahwa intelegensi hanya di tentukan oleh mekanisme-mekanisme pemasakan yang biologis saja. Pendapat yang mekanistik sebaliknya mengatakan bahwa intelegensi hanya ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan saja.
Menurut pieget pertumbuhan mental mangandung dua macam proses: perkembangan dan belajar. Perkembangan adalahperubahan strutural dan belajar adalah perubahan isi.
Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 macam faktor.
a.      Pemasakan: tumbuhnya struktur-struktur fisik secara berangsur-angsur mempunyai akibat pada perkembangan kognitif anak.
b.      Pengalaman atau kontak dengan lingkungan: dua macam pengalaman mental yaitu pengalaman fisik dan pengalaman logiko matematik.
c.       Penyerahan sosial: anak hidup dalam dunia sosial dan melalui sekolah, media massa dan lain-lainnyang semacam anak memperoleh informasi yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya.
d.      Ekwilibrasi: mengintegrasi efek-efek ketiga faktor sebelumnya yang masing-masing cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan.
4.        Kritik-kritik teori pieget
Teori pieget mendoronf dilakukannya banyak sekali penenlitian-penelitian khususnya di amerika. Menurut pendapat ini maka perkembanagan kognitif berjalan melalui stadium-stadium yang mempunyai sifat universal. Perkembangan berjalan spontan dan lingkungan hanya mempunyai pengaruh penghambat atau mempengaruhi sedikit.pendapat semacam itu mempunyai konsekuensi yang sungguh dalam pendidikan di sekolah. Misalnya cara mengajar klasikal verbal yang jonvensional menurut pendapat ini akan mempunyai sedikit pengaryh tehadap perkembangan kognitif anak.
Tugas seorang guru disini adalah menciptakan siyuasi-situasi tertentu supaya apa yang sebetulnya akan diberikan secara verbal kepada anak dapat di lakukan sendiri oleh anak dengan berbuat aktif dengan benda-benda. Penelitian terutama dimaksudkan untuk melihat kemungkinannya apakah anak yang ada dalam stadium pra-operasional melalui latihan yang khusus dapat berpindah kedalam stadium operasional konkrit. Penelitian-penelitian  smedslund (1961). Hamel dan Riksen (1973) dan Kohnstamm (1970) membuktikan bahwa memang mungkin untuk membawa anak lebih awal ke stadium operasional konkrit melalui latihan yang khusus. Disimpulkan bahwa anak mampu untuk melakukan tugas-tugas pada tingkat operasional konkrit pada usia yang lebih muda daripada yang dikemukakan oleh pieget. Data ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi teori pieget.

E.       Intelegensi serta Keberhasilan di Sekolah.
Underachiever menunjukan pada seseorang yang memperoleh prestasi-prestasi di bawah kemampuan intelektual yang ia miliki. Menurut observasi haditono maka masalah underachiever di Indonesia disebabkam oleh suatu kombinasi faktor-faktor banyak. Faktor yang pertama adalah kurangnya fasilitas belajar dalam arti luas di sekolah-sekolah, terutama di pelosok-pelosok maupun di rumah. Kedua, kurangnya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Ketiga adalah keadaan gizi yang bilamana dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi maka secara fisik anak lebih mamapu untuk menggunakan kapasitas otaknya lebih baik.
Intelegensi dianggap sebagai suatu norma yang ditentukan secara statistik. Seiring secara olok-olok diikatakan intelegensi adalah apa yang diukur oleh suatu test inteligensi. Dalam kenyataan suatu test intelegensi mengukur suatu (urutan) orang dalam kelompok dibanding dengan teman-temannya sebaya.
Wechsler memberikan definisi intelegensi. Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan seseorang untuk dapat bertindak secara terarah. Berfikir secara baik dan bergaul dengan lingkungannya secara efisien. Penelitian longitudal selama 40 tahun dalam institut fels menurut McCall dkk menunjukan adanya pertambahan rata-rata IQ sebanyak 28 ekor antara usia 5 dan 17 tahun. Tidak terdapat adanya hubungan antara intelegensi dan kreativitas. Kreativitas diberikan definisi sebagai berfikir dievergen, sedangkan intelegensi dianggap sebagai berfikir konvergen. Divergen berarti bahwa seseorang memberikan jawaban-jawaban yang original.



F.       Permasalahan stimulasi perkembangan kompenstatoris.
John kennedy membuat program penanggulangan kemiskinan. Miskin dalam arti materil dan mental. Dua alasan mengapa program ini dapat begitu lancar dimulai adalah:
1.      Ternyata anak-anak kulit hitam dan anak-anak kelompok minoritas lainnya seperti anak-anak Puertoriko tidak dapat mengunjungi sekolah taman kanak-kanak karena alasan keuangan.
2.      Dalam waktu yang bersamaan juga terbukti bahwa intelegensi tidak dalam semua aspek ditentukan oleh keturunan, lingkungan dapat mengadakan banyak stimulasi dalam hal prestasi intelegensi.
            Model Bloom tidak dibuktikan secara empirik, namun essensi anjuran Bloom perlu diperhatikan, anak sejak semula merupakan patner yang serius yang ikut menentukan perkembangannya sendiri secara aktif sedangkan lingkungan sosial dalam tahun-tahun pertama justru mempunyai tanggung jawabpendidikan yang besar.
            Menurut Betty Caldwell Centre for Early Education and Development di Arkansas, nampak 4 fase sampai permulaan tahun 1970.
1.      Optimisme dan kegairahan pada saat-saat permulaan, ada suatu pengharapan yang kekanak-kanakan. Seakan-akan suatu kursus selama 6 minggu dengan pelajaran-pelajaran bahasa yang khusus dan permainan akan dapat membuat perobahan yang esensial.
2.      Dalam tahun 1966 orang menjadi skeptis, data yang pertama menunjukan dengan jelas bahwa memang ada kemajuan yang cepat selama kursus musim panas ini , tetapi efeknya segera hilang juga.
3.      Wessinghouse dalam tahun 1969 menimbulkan suatu desilusi yang dapat memperlihatkan yang berat.
4.      Konsolidasi, dalam permulaan tahun 70-an orang menemukan suatu dasar teori dalam empiri yang baru, orang mencapai penanganan masalah yang lebih baik dalam hubungan dengan stimulasi pekembangan kompensatorik.

Program-program yang secara khusus ditujukan pada bahasa tidak akan memberikan hasil apapun selama pendekatan anak masih lepas (keliarga dan tetangga). Bernardvan Leer Foundation (yayasan Bernard van Leer) dapat membuktikan bahwa anak , keluarga dan sekolah tidak dapat dipandangsebagai hal-hal yang terpisah. Jensen dalam tulisannya mengatakan bahwa apa yang disebut pendidikan kompensatorik sampai sekarang belum membuktikan adanya kemungkinan perbaikan intelegensi dan prestasi sekolah secara tetap. Tujuan Jensen sekarang adalah untuk mengerti apa sebetulnya intelegensi itu, sampai dimana pengaruh keturunan terhadap intelegensi dan sampai dimana lingkungan masih dapat mempengaruhi intelegensi.
Alasan lain diajukan dari hasil penelitian Geber dan Dean mengenakan test Gessel pada bayi Uganda. Hasil yang paling menyolok adalah dalam hubungan dengan perkembangan motorik. Kecakapan motorik merupakan hal-hal yang umum pada mereka, yaitu:
1.      Lima jam sesudah dilahirkan anak sedah melihat-lihat keliling.
2.      Sesedah 22 jam dapat duduk dengan tegak.
3.      Umur 7 minggu sudah dapat mengangkat berat badannya sendiri dan melihat kililing dengan penuh perhatian.
4.      Umur 9 bulan sudah dapat berdiri tegak dan berjalan.
Data ini menunjukan adanya bukti bahwa disini jelas ada faktor-faktor keturunan yang tidak dapat diterangkan oleh pengaruh lingkungan. Dari sejumlah besar penelitian yang dilakukan untuk melihat perbedaan inteligensi antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih selalu diketemukan keunggulan orang-orang kulit putih dengan perbedaan rata-rata 15 sekor IQ. Hal ini disebabkan oleh cara berfikir orang-orang kulit hitam berbeda dengan cara berfikir orang-orang kulit outih. Dia membedakan antara berfikir atau belajar asosiatif (nivo I) dan berfikir atau belajar secara pengertian (nivo II).
1.      nivo I berhubungan dengan proses-proses belajar yang sederhana yang mendasarkan diri pada ingatan dan pengenalan hal-hal yang dijumpai sebelumnya. Anak-anak kulit hitam dan anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah pada umumnya mencapai hasil yang baik pada prestasi intelegensi yang lebih berhubungan dengan berfikir dan belajar yang asosiatif.
2.      Nivo II menyelesaikan suatu masalah memperlakukan secara aktif, menambah aspek-aspek baru pada hal yang sudah dipelajari. Hal ini semua merupakan ciri-ciri kerja intelegensi pada nivo II. Cara berfikir seperti itulah yang diminta di sekolah-sekolah dan bukan cara berfikir yang asosiatif.
Argumentasi jensen di atas tidak dapat menjelaskan seluruhnya bahwa belajar tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan intelegensi. Rangkuman dapat dikatakan bahwa stimulasi perkembangan kompensatorisntidak akan berhasil bila hanya khusus ditujukan pada aspek-aspek tingkah laku yang terpisah saja, misalnya pada bahasa saja. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa keturunan tidak sepenuhnya menentukan tingkah laku seseorang, melainkan masih ada kemungkinan untuk dipengaruhi. Hanya satu penanganan yang menyeluruh yaitu terhadap anak, keluarga dan lingkungan tetangga maupum masyarakat dapat memberikan hasil-hasil yang tetap.

G.      Anak-anak dengan kecerdasan tinggi.
            Anak-anak yang sangat pandai ini adalah mereka yang mempunyai IQ 140 atau lebih. Meskipun sekor-sekor test sedikit banyak dapat meramalkan mengenai keberhasilan dalam sekolah dan pekerjaan, belum tentu hal tadi dapat meramalkan mengenai kesuksesan dalam mencapai kebahagiaan hidup. Kecerdasan yang tinggi harus dibedakan ari kreativitas.
1.      Berbagai pandangan mengenai kecerdasan yang tinggi.
-         Determinan sosio-kultural: aselerasi fisik (percepatan pertumbuhan) sama dengan peningkatan intelegensi yang positif, disebabkan karena berjalan bersama-sama dengan peningkatan intelegensi.
-         Pertimbangan dari segi teori keturunan memberikan kesimpulan bahwa ditinjau dari angka-angka kelahiran yang menurun dalam keluarga-keluarga yang mempunyai potensi menurunkan anak-anak dengan kecerdasan tinggi, maka akan terjadi suatu proses habis mati pada orang-orang dengan kecerdasan yang tinggi tersebut.

-         Pandangan klinis atau hipotesa mengenai disharmoni.
Menurut alhi psikiatri lange-eichbaum maka semua genlus ada dalam kategori gila. Dalam tinjauan-tinjauan klinis ditunjukan hubungannya antara kecerdasan yang tinggi dengan beberapa sifat tertentu, misalnya pengertian yang cepat, ekstrim peka dalam lapangan emosional dan sosial, dengan begitu mereka menemukan pertentangan dengan anak-anak sebaya dan orang-orang dewasa mereka menjadi terasing dan menjadi aneh.
-         Menurut hipotesa mengenai hormon, maka anak-anak dengan kecerdasan tinggi tidak hanya istimewa kecerdasannya, melainkan juga dalam fisik dan psikisnya sangat sehat.
2.      Penelitian menganai anak-anak dengan kecerdasan tinggi.
            Menurut pendapat guru diadakan seleksi orang-orang. Mereka di test dengan versi pendek test Standfordd-Binet. Suatu penelitian yang baru dilakukan oleh Freeman adalah Gilled children, juga berkritik tolak dari hypotesis-harmoni dan cari pendapat bahwa penelitian mengenai anak-anak cedas tinggi sangat diperlukan, karena diharapkan meekalah yang kelak akan menduduki posisi-posisi yang penting. Semua anak diteliti secara mendalam, semua orang tua dan semua guru diwawancara dan penyesuaian mereka diteliti dengan Bristol Adjusment Guides. Ternyata bahwa 23 anak dari kelompok eksperimen mempunyai IQ kurang dari 140 meskipun orang tua mereka menganggap mereka mempunyai kecerdasan yang tinggi.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan pra-sekolah dan sekolah menjadi dasar pendidikan dalam pondasi memerlukan perhatian khusus mengenai cara belajar, proses belajar, dan pendekatan kepribadian. Dengan mempelajari dan melakukan pendekatan perkembangan anak di usia pra-sekolah dan sekolah seorang, guru mampu memberikan asupan ilmu yang sesuai dengan perkembangan anak. Sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi-potensi peserta didik yang menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
B.     Saran

Seorang pendidik sudah menjadi kewajibannya dalam meemberikan ilmu kepada peserta didiknya. Dalam proses pendidikan itu diharapkan seorang guru bisa memberikan asupan ilmu sesuai dengan perkembangan anak. Hal itu dimulai dengan melalukakn pendekatan sehingga tercapai anak didik yang memiliki moral dan berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar