KITA







Senin, 25 November 2013

Perkembangan Karya Sastra Indonesia



Perkembangan Karya Sastra Indonesia 

        "Deru Campur Debu" karya Chairil Anwar - sastrawan Indonesia Angkatan 45 Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut. Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
 Daftar isi:
 1 Periodisasi   
 2 Pujangga Lama   
                         2.1 Karya Sastra Pujangga Lama 
                        2.1.1 Sejarah 
                       2.1.2 Hikayat 
                        2.1.3 Syair  
                        2.1.4 Kitab agama 
3 Sastra Melayu Lama 
4 Angkatan Balai Pustaka 
5 Pujangga Baru 
6 Angkatan 1945 
7 Angkatan 1960 - 1970-an 
8 Angkatan 1980 - 1990-an 
9 AngkatanReformasi
10 Angkatan 2000-an
         
  Periodisasi Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
             • Lisan 
 • Tulisan
 Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
 • Angkatan Pujangga Lama
 • Angkatan Sastra Melayu Lama
 • Angkatan Balai Pustaka
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan 1945
• Angkatan 1950 - 1960-an
• Angkatan 1980 - 1990-an
• Angkatan Reformasi
• Angkatan 2000-an


1.      Karya Sastra Pujangga Lama Sejarah 
Pujangga Lama Salah satu halaman Hikayat Abdullah Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Contohnya Sejarah Melayu (Malay Annals) Hikayat, Hikayat Abdullah, Hikayat Aceh, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Andaken Penurat, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Djahidin, Hikayat Hang Tuah , Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Kadirun, Hikayat Kalila dan Damina, Hikayat Masydulhak, Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Pandja Tanderan, Hikayat Putri Djohar Manikam, Hikayat Sri Rama, Hikayat Tjendera Hasan, Tsahibul Hikayat Syair, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan , Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Raja Siak Kitab agama, Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri , Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri, Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai, Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri Sastra Melayu Lama Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Karya Sastra Melayu Lama contoh lainnya: Robinson Crusoe (terjemahan) , Lawan-lawan Merah, Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan), Graaf de Monte Cristo (terjemahan), Kapten Flamberger (terjemahan), Rocambole (terjemahan), Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo),  Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe, isah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya, Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo), Cerita Nyi Paina, Cerita Nyai Sarikem, Cerita Nyonya Kong Hong Nio, Nona Leonie, Warna Sari Melayu oleh Kat S.J, Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan, Cerita Rossina, Nyai Isah oleh F. Wiggers, Drama Raden Bei Surioretno, Syair Java Bank Dirampok, Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang, Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen, Tambahsia, Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo, Nyai Permana, Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo),  dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya.
2.      Angkatan Balai Pustaka
Abdul Muis sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2] Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:  Merari Siregar, Azab dan Sengsara (1920),  Binasa kerna Gadis Priangan (1931),  Cinta dan Hawa Nafsu, Marah Roesli, Siti Nurbaya (1922),  La Hami (1924), Anak dan Kemenakan (1956),  Muhammad Yamin, Tanah Air (1922),  Indonesia, Tumpah Darahku (1928),  Kalau Dewi Tara Sudah Berkata, Ken Arok dan Ken Dedes (1934),  Nur Sutan Iskandar, Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923),  Cinta yang Membawa Maut (1926),  Salah Pilih (1928), Karena Mentua (1932),  Tuba Dibalas dengan Susu (1933), Hulubalang Raja (1934),  Katak Hendak Menjadi Lembu (1935), Tulis Sutan Sati, Tak Disangka (1923),  Sengsara Membawa Nikmat (1928),  Tak Membalas Guna (1932),  Memutuskan Pertalian (1932),  Djamaluddin Adinegoro, Darah Muda (1927),  Asmara Jaya (1928),  Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, Pertemuan (1927),  Abdul Muis, Salah Asuhan (1928),  Pertemuan Djodoh (1933),  Aman Datuk Madjoindo, Menebus Dosa (1932),  Si Cebol Rindukan Bulan (1934),  Sampaikan Salamku Kepadanya (1935) Pujangga Baru Sutan Takdir Alisjahbana pelopor Pujangga Baru Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. 
3.      Sastra Pujangga Baru
 Adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru : Sutan Takdir Alisjahbana dengan karyanya: Dian Tak Kunjung Padam (1932),  Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935),  Layar Terkembang (1936),  Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940); Hamka dengan karyanya: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938),  Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939),  Tuan Direktur (1950),  Didalam Lembah Kehidoepan (1940);  Armijn Pane dengan karyanya: Belenggu (1940),  Jiwa Berjiwa,  Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960),  Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950), Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953); Sanusi Pane dengan karyanya:  Pancaran Cinta (1926),  Puspa Mega (1927),  Madah Kelana (1931), Sandhyakala Ning Majapahit (1933),  Kertajaya (1932); Tengku Amir Hamzah dengan karyanya:  Nyanyi Sunyi (1937), Begawat Gita (1933),  Setanggi Timur (1939); Roestam Effendi dengan karyanya: Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan,  Pertjikan Permenungan, Sariamin Ismail, Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Anak Agung Pandji Tisna, Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di Bedahulu (1938);  J.E.Tatengkeng dengan karyanya:  Rindoe Dendam (1934), Fatimah Hasan Delais, Kehilangan Mestika (1935); Said Daeng Muntu dengan karyanya:  Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi (1941); Karim Halim dengan karyanya Palawija (1944).
4.      Angkatan 1945
 Chairil Anwar pelopor Angkatan 1945 Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar.
Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945: Chairil Anwar dengan buah karyanya: Kerikil Tajam (1949), Deru Campur Debu (1949); Asrul Sani bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar dengan buah karyanya: Tiga Menguak Takdir (1950); Idrus dengan buah karyanya: Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948), Aki (1949), Perempuan dan Kebangsaan; Achdiat K. Mihardja dengan buah karyanya: Atheis (1949); Trisno Sumardjo dengan buah karyanya: Katahati dan Perbuatan (1952); Utuy Tatang Sontani dengan buah karyanya: Suling (drama) (1948), Tambera (1949), Awal dan Mira - drama satu babak (1962); Suman Hs. dengan buah karyanya: Kasih Ta' Terlarai (1961), Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957), Pertjobaan Setia (1940).
5.      Angkatan 1950 - 1960-an
Pramoedya Ananta Toer novelis generasi 1950-1960 Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis.
Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an:  Pramoedya Ananta Toer  dengan buah karyanya: Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Keluarga Gerilya (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Perburuan (1950), Cerita dari Blora (1952), Gadis Pantai (1965); Nh. Dini dengan buah karyanya: Dua Dunia (1950), Hati jang Damai (1960); Sitor Situmorang  dengan buah karyanya: Dalam Sadjak (1950), Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954), Pertempuran dan Saldju di Paris (1956), Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953), Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955); Mochtar Lubis dengan buah karyanya: Tak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952), Tanah Gersang (1964), Si Djamal (1964), Marius Ramis Dayoh, Putra Budiman (1951), Pahlawan Minahasa (1957); Ajip Rosidi dengan buah karyanya: Tahun-tahun Kematian (1955), Ditengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957), Cari Muatan (1959), Pertemuan Kembali (1961); Ali Akbar Navis  dengan buah karyanya: Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955), Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967);  Toto Sudarto Bachtiar dengan buah karyanya: Etsa sajak-sajak (1956), Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958); Ramadhan K.H dengan buah karyanya:  Priangan si Jelita (1956) ; W.S. Rendra dengan buah karyanya: Balada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Ia Sudah Bertualang (1963), Subagio Sastrowardojo o Simphoni (1957), Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajangé (1961), Tiga Kota (1959); Trisnojuwono dengan buah karyanya:  Angin Laut (1958) , Dimedan Perang (1962), Laki-laki dan Mesiu (1951); Toha Mochtar dengan buah karyanya:  Pulang (1958), Gugurnya Komandan Gerilya (1962), Daerah Tak Bertuan (1963); Purnawan Tjondronagaro dengan buah karyanya: Mendarat Kembali (1962);  Bokor Hutasuhut  dengan buah karyanya: Datang Malam (1963).
6.      Angkatan 1970 - 1980-an
Taufik Ismail sastrawan Angkatan 1966 Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin. Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya. Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966: Taufik Ismail dengan buah karyanya: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit; Sutardji Calzoum Bachri dengan buah karyanya: Amuk, Kapak; Abdul Hadi WM dengan buah karyanya: Meditasi (1976), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975) , Tergantung Pada Angin (1977); Sapardi Djoko Damono dengan buah karyanya: Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974);  Goenawan Mohamad dengan buah karyanya: Parikesit (1969), Interlude (1971), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980); Umar Kayam dengan buah karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk, Lebaran di Karet, Pada Suatu Saat di Bandar Sangging, Kelir Tanpa Batas, Para Priyayi, Jalan Menikung; Danarto dengan buah karyanya: Godlob, Adam Makrifat, Berhala; Nasjah Djamin dengan buah karyanya: Hilanglah si Anak Hilang (1963), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968); Putu Wijaya dengan buah karyanya: Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1973), Stasiun (1977), Pabrik o Gres o Bom; Djamil Suherman dengan buah karyanya: Perjalanan ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963); Titis Basino dengan buah karyanya: Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963), Lesbian (1976), Bukan Rumahku (1976), Pelabuhan Hati (1978), Pelabuhan Hati (1978); Leon Agusta dengan buah karyanya: Monumen Safari (1966) ,Catatan Putih (1975), Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978), Hukla (1979); Iwan Simatupang dengan buah karyanya: Ziarah (1968), Kering (1972), Merahnya Merah (1968), Keong (1975), RT Nol/RW Nol, Tegak Lurus Dengan Langit; M.A Salmoen dengan buah karyanya: Masa Bergolak (1968); Parakitri Tahi Simbolon dengan buah karyanya: Ibu (1969);  Chairul Harun dengan buah karyanya: Warisan (1979); Kuntowijoyo dengan buah karyanya: Khotbah di Atas Bukit (1976); M. Balfas dengan buah karyanya: Lingkaran-lingkaran Retak (1978); Mahbub Djunaidi dengan buah karyanya: Dari Hari ke Hari (1975); Wildan Yatim dengan buah karyanya: Pergolakan (1974); Harijadi S. Hartowardojo dengan buah karyanya: Perjanjian dengan Maut (1976); Ismail Marahimin dengan buah karyanya: Dan Perang Pun Usai (1979); Wisran Hadi dengan buah karyanya: Empat Orang Melayu, Jalan Lurus.
7.      Angkatan 1980 - 1990an
Hilman Hariwijaya penulis cerita remaja pada dekade 1980 dan 1990 Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie. Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat. Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an: Ahmadun Yosi Herfanda dengan buah karyanya: Ladang Hijau (1980), Sajak Penari (1990), Sebelum Tertawa Dilarang (1997), Fragmen-fragmen Kekalahan (1997), Sembahyang Rumputan (1997); Y.B Mangunwijaya dengan buah karyanya: Burung-burung Manyar (1981), Darman Moenir, Bako (1983), Dendang (1988); Budi Darma dengan buah karyanya: Olenka (1983), Rafilus (1988); Sindhunata dengan buah karyanya: Anak Bajang Menggiring Angin (1984); Arswendo Atmowiloto dengan buah karyanya: Canting (1986); Hilman Hariwijaya dengan buah karyanya: Lupus - 28 novel (1986-2007), Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003), Olga Sepatu Roda (1992), Lupus ABG - 11 novel (1995-2005); Dorothea Rosa Herliany dengan buah karyanya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999); Gustaf Rizal dengan buah karyanya: Segi Empat Patah Sisi (1990), Segi Tiga Lepas Kaki (1991), Ben (1992), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999); Remy Sylado dengan buah karyanya: Ca Bau Kan (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002); Afrizal Malna dengan buah karyanya: Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Arsitektur Hujan (1995), Pistol Perdamaian (1996), Kalung dari Teman (1998).
8.      Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi.
Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka. Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi: Widji Thukul dengan buah karyanya: Puisi Pelo, Darman.
9.      Angkatan 2000-an
Andrea Hirata salah satu novelis tersukses pada dekade pertama abad ke-21 Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000: Ahmad Fuadi dengan buah karyanya: Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna (2011); Andrea Hirata dengan buah karyanya: Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), Maryamah Karpov (2008), Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010); Ayu Utami  dengan buah karyanya: Saman (1998), Larung (2001); Dewi Lestari dengan buah karyanya: Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2: Akar (2002), Supernova 3: Petir (2004), Supernova 4: Partikel (2012); Habiburrahman El Shirazy dengan buah karyanya: Ayat-Ayat Cinta (2004), Diatas Sajadah Cinta (2004) , Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007), Dalam Mihrab Cinta (2007); Herlinatiens dengan buah karyanya: Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), Dejavu, Sayap yang Pecah (2004), Jilbab Britney Spears (2004), Sajak Cinta Yang Pertama (2005), Malam Untuk Soe Hok Gie (2005), Rebonding (2005), Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005), Koella, Bersamamu dan Terluka (2006), Sebuah Cinta yang Menangis (2006); Raudal Tanjung Banua dengan buah karyanya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005); Seno Gumira Ajidarma dengan buah karyanya: Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai Cybersastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi.



Referensi:
 1. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 117.
2. ^ Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. hlm. 370.
3. ^ Yudiono (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 167l : Topik Indonesia Sejarah Nusantara • Prasejarah • Kerajaan Hindu-Buddha • Kerajaan Islam • Era Portugis • Era VOC • Era Belanda • Era Jepang • Era Kemerdekaan Sejarah Indonesia • Sejarah nama Indonesia • Proklamasi • Masa transisi • Era Orde Lama (Dekrit Presiden • Demokrasi Terpimpin • Gerakan 30 September) • Era Orde Baru (Supersemar • Integrasi Timor Timur • Gerakan 1998) • Era reformasi Geografi • Bendungan & Waduk • Danau • Gunung & pegunungan • Gunung berapi • Laut • Pulau & kepulauan • Selat • Sungai • Tanjung & ujung • Teluk • Titik-titik garis pangkal Politik dan pemerintahan • Pemerintah • Presiden • Kementerian • MPR • DPR • DPD • MA • MK • KY • BPK • Perwakilan di luar negeri • Kepolisian • Militer • Lembaga pemerintahan • Administratif (Provinsi • Kabupaten/kota • Kecamatan dan kelurahan/desa) • Hubungan luar negeri • Hukum • Undang-Undang • Pemilu • Partai politik • Kewarganegaraan Indonesia Ekonomi • Perusahaan • Pariwisata • Transportasi • Pasar modal • Bank • BUMN • BEI • BBJ Demografi • Suku • Bahasa • Agama • Nama Indonesia • Tokoh Budaya • Seni (Film • Tari • Sastra • Musik • Lagu) • Masakan • Mitologi • Pendidikan • Olahraga • Busana daerah • Arsitektur (Bandar udara • Pembangkit listrik) • Warisan budaya (Wayang • Batik • Keris • Angklung) Simbol • Sang Saka Merah Putih • Garuda Pancasila • Ibu Pertiwi • Nusantara Flora fauna • Fauna • Flora • Bunga • Binatang • Burung • Ikan • Tumbuhan • Cagar alam • Suaka margasatwa • Taman nasional • Terumbu karang • Kebun raya Lainnya • Media • Telekomunikasi (Televisi nasional • Televisi lokal) • Tanda kehormatan • Kode telepon • Kode kendaraan • Hari penting 

        Ketika pembelajaran yang guru  berbentuk teks panjang seperti di atas, dengan keberagaman kemampuan siswa dalam menyerap ilmu pelajaran akan mempersulitkan siswa yang memiliki kemampuan menyerap ilmu rendah. Nah, seorang guru harus mampu memfasilitasi siswa agar dapat menyerap pelajaran secara optimal, salah satunya yaitu dengan menggunakan mind mapping. Dalam satu gambar sudah mampu mewakili teks yang panjang dengan tanpa mengurangi bobot dan informasi teks tersebut. Kita sebagai calon guru mari Kita tingkatkan kreativitas kita sebagai fasilitator pendidikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar