Perkembangan Karya Sastra Indonesia
"Deru Campur Debu" karya Chairil Anwar - sastrawan Indonesia Angkatan
45 Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya
sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti
yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di
wilayah tersebut. Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang
dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada
sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia
adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga
diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia,
terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei),
demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
Daftar isi:
1 Periodisasi
2 Pujangga Lama
2.1 Karya Sastra Pujangga Lama
2.1.1 Sejarah
2.1.2
Hikayat
2.1.3 Syair
2.1.4 Kitab agama
3 Sastra
Melayu Lama
4 Angkatan
Balai Pustaka
5 Pujangga
Baru
6 Angkatan
1945
7 Angkatan
1960 - 1970-an
8 Angkatan
1980 - 1990-an
9
AngkatanReformasi
10 Angkatan
2000-an
Periodisasi Sastra
Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
• Lisan
• Tulisan
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia
terbagi atas beberapa angkatan:
• Angkatan Pujangga Lama
• Angkatan Sastra Melayu Lama
• Angkatan Balai Pustaka
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan 1945
• Angkatan 1950 - 1960-an
• Angkatan 1980 - 1990-an
• Angkatan Reformasi
• Angkatan 2000-an
1. Karya
Sastra Pujangga Lama Sejarah
Pujangga Lama Salah satu halaman Hikayat Abdullah Pujangga lama merupakan
bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad
ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan
hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat
meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di
Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama
karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara
penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada
abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah
karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Contohnya Sejarah Melayu (Malay Annals) Hikayat, Hikayat Abdullah,
Hikayat Aceh, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Andaken Penurat, Hikayat Bayan
Budiman, Hikayat Djahidin, Hikayat Hang Tuah , Hikayat Iskandar Zulkarnain,
Hikayat Kadirun, Hikayat Kalila dan Damina, Hikayat Masydulhak, Hikayat Pandawa
Jaya, Hikayat Pandja Tanderan, Hikayat Putri Djohar Manikam, Hikayat Sri Rama,
Hikayat Tjendera Hasan, Tsahibul Hikayat Syair, Syair Bidasari, Syair Ken
Tambuhan , Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Raja Siak Kitab agama, Syarab
al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri , Asrar al-'Arifin
(Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri, Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada
kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai, Bustan as-Salatin (Taman raja-raja)
oleh Nuruddin ar-Raniri Sastra Melayu Lama Karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat
Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera
lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama
yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan
novel barat. Karya Sastra Melayu Lama contoh lainnya: Robinson Crusoe
(terjemahan) , Lawan-lawan Merah, Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan),
Graaf de Monte Cristo (terjemahan), Kapten Flamberger (terjemahan), Rocambole
(terjemahan), Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh A.F
van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe, isah Pelayaran ke Pulau
Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya, Cerita Siti Aisyah
oleh H.F.R Kommer (Indo), Cerita Nyi Paina, Cerita Nyai Sarikem, Cerita Nyonya
Kong Hong Nio, Nona Leonie, Warna Sari Melayu oleh Kat S.J, Cerita Si Conat
oleh F.D.J. Pangemanan, Cerita Rossina, Nyai Isah oleh F. Wiggers, Drama Raden
Bei Surioretno, Syair Java Bank Dirampok, Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang, Cerita
Oey See oleh Thio Tjin Boen, Tambahsia, Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo, Nyai
Permana, Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo), dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra
Melayu-Lama lainnya.
2. Angkatan
Balai Pustaka
Abdul Muis sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka Angkatan Balai
Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang
dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan
drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan
hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan
liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka
menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan
bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan
bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai
Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila
dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa
novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel
Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2] Pada masa ini,
novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya
menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang
membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh
penulis-penulis lainnya pada masa itu. Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai
Pustaka: Merari Siregar, Azab dan
Sengsara (1920), Binasa kerna Gadis
Priangan (1931), Cinta dan Hawa Nafsu, Marah
Roesli, Siti Nurbaya (1922), La Hami
(1924), Anak dan Kemenakan (1956), Muhammad Yamin, Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewi Tara Sudah Berkata, Ken Arok dan
Ken Dedes (1934), Nur Sutan Iskandar, Apa
Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928), Karena Mentua (1932), Tuba Dibalas dengan Susu (1933), Hulubalang Raja
(1934), Katak Hendak Menjadi Lembu
(1935), Tulis Sutan Sati, Tak Disangka (1923), Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tak Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932), Djamaluddin Adinegoro, Darah Muda (1927), Asmara Jaya (1928), Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, Pertemuan
(1927), Abdul Muis, Salah Asuhan (1928),
Pertemuan Djodoh (1933), Aman Datuk Madjoindo, Menebus Dosa (1932), Si Cebol Rindukan Bulan (1934), Sampaikan Salamku Kepadanya (1935) Pujangga
Baru Sutan Takdir Alisjahbana pelopor Pujangga Baru Pujangga Baru muncul
sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap
karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
3. Sastra
Pujangga Baru
Adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942),
dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi
salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain
Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan
Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang. Masa ini ada dua
kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh
Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat"
yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru : Sutan Takdir
Alisjahbana dengan karyanya: Dian Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940); Hamka
dengan karyanya: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), Tuan Direktur (1950), Didalam Lembah Kehidoepan (1940); Armijn Pane dengan karyanya: Belenggu (1940), Jiwa Berjiwa, Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960), Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950),
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953); Sanusi Pane dengan karyanya: Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927), Madah Kelana (1931), Sandhyakala Ning
Majapahit (1933), Kertajaya (1932);
Tengku Amir Hamzah dengan karyanya: Nyanyi Sunyi (1937), Begawat Gita (1933), Setanggi Timur (1939); Roestam Effendi dengan
karyanya: Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan, Pertjikan Permenungan, Sariamin Ismail, Kalau
Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Anak Agung Pandji Tisna, Ni Rawit
Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di
Bedahulu (1938); J.E.Tatengkeng dengan
karyanya: Rindoe Dendam (1934), Fatimah
Hasan Delais, Kehilangan Mestika (1935); Said Daeng Muntu dengan karyanya: Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi (1941);
Karim Halim dengan karyanya Palawija (1944).
4. Angkatan
1945
Chairil Anwar pelopor Angkatan
1945 Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya
sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding
karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada
angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti
halnya puisi-puisi Chairil Anwar.
Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat
Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan
angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945: Chairil Anwar dengan buah karyanya:
Kerikil Tajam (1949), Deru Campur Debu (1949); Asrul Sani bersama Rivai Apin
dan Chairil Anwar dengan buah karyanya: Tiga Menguak Takdir (1950); Idrus dengan
buah karyanya: Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948), Aki (1949),
Perempuan dan Kebangsaan; Achdiat K. Mihardja dengan buah karyanya: Atheis
(1949); Trisno Sumardjo dengan buah karyanya: Katahati dan Perbuatan (1952);
Utuy Tatang Sontani dengan buah karyanya: Suling (drama) (1948), Tambera (1949),
Awal dan Mira - drama satu babak (1962); Suman Hs. dengan buah karyanya: Kasih
Ta' Terlarai (1961), Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957), Pertjobaan Setia
(1940).
5. Angkatan
1950 - 1960-an
Pramoedya Ananta Toer novelis generasi 1950-1960 Angkatan 50-an ditandai
dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini
adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah
sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan
sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang
berkonsep sastra realisme-sosialis.
Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan
sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan
sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan
pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an: Pramoedya Ananta Toer dengan buah karyanya: Kranji dan Bekasi Jatuh
(1947), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Keluarga Gerilya
(1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Perburuan (1950), Cerita dari Blora
(1952), Gadis Pantai (1965); Nh. Dini dengan buah karyanya: Dua Dunia (1950),
Hati jang Damai (1960); Sitor Situmorang dengan buah karyanya: Dalam Sadjak (1950),
Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954), Pertempuran dan Saldju di Paris
(1956), Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953), Wadjah Tak Bernama:
kumpulan sadjak (1955); Mochtar Lubis dengan buah karyanya: Tak Ada Esok (1950),
Jalan Tak Ada Ujung (1952), Tanah Gersang (1964), Si Djamal (1964), Marius
Ramis Dayoh, Putra Budiman (1951), Pahlawan Minahasa (1957); Ajip Rosidi dengan
buah karyanya: Tahun-tahun Kematian (1955), Ditengah Keluarga (1956), Sebuah
Rumah Buat Hari Tua (1957), Cari Muatan (1959), Pertemuan Kembali (1961); Ali
Akbar Navis dengan buah karyanya: Robohnya
Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955), Bianglala - kumpulan cerita pendek
(1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967); Toto Sudarto Bachtiar dengan buah karyanya:
Etsa sajak-sajak (1956), Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958); Ramadhan K.H dengan
buah karyanya: Priangan si Jelita (1956)
; W.S. Rendra dengan buah karyanya: Balada Orang-orang Tercinta (1957), Empat
Kumpulan Sajak (1961), Ia Sudah Bertualang (1963), Subagio Sastrowardojo o
Simphoni (1957), Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajangé
(1961), Tiga Kota (1959); Trisnojuwono dengan buah karyanya: Angin Laut (1958) , Dimedan Perang (1962),
Laki-laki dan Mesiu (1951); Toha Mochtar dengan buah karyanya: Pulang (1958), Gugurnya Komandan Gerilya
(1962), Daerah Tak Bertuan (1963); Purnawan Tjondronagaro dengan buah karyanya:
Mendarat Kembali (1962); Bokor Hutasuhut
dengan buah karyanya: Datang Malam (1963).
6. Angkatan
1970 - 1980-an
Taufik Ismail sastrawan Angkatan 1966 Angkatan ini ditandai dengan
terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat
avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada
angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya
sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit
Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada
masa ini.
Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini
adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto,
Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan
termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin. Beberapa satrawan pada angkatan
ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto
Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu
Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966: Taufik Ismail dengan buah karyanya:
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan,
Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit; Sutardji Calzoum
Bachri dengan buah karyanya: Amuk, Kapak; Abdul Hadi WM dengan buah karyanya:
Meditasi (1976), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975) , Tergantung
Pada Angin (1977); Sapardi Djoko Damono dengan buah karyanya: Dukamu Abadi
(1969), Mata Pisau (1974); Goenawan
Mohamad dengan buah karyanya: Parikesit (1969), Interlude (1971), Potret
Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita
(1980); Umar Kayam dengan buah karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri
Sumarah dan Bawuk, Lebaran di Karet, Pada Suatu Saat di Bandar Sangging, Kelir
Tanpa Batas, Para Priyayi, Jalan Menikung; Danarto dengan buah karyanya: Godlob,
Adam Makrifat, Berhala; Nasjah Djamin dengan buah karyanya: Hilanglah si Anak
Hilang (1963), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968); Putu Wijaya dengan
buah karyanya: Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1973), Stasiun
(1977), Pabrik o Gres o Bom; Djamil Suherman dengan buah karyanya: Perjalanan
ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963); Titis Basino dengan buah karyanya: Dia,
Hotel, Surat Keputusan (1963), Lesbian (1976), Bukan Rumahku (1976), Pelabuhan
Hati (1978), Pelabuhan Hati (1978); Leon Agusta dengan buah karyanya: Monumen
Safari (1966) ,Catatan Putih (1975), Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978),
Hukla (1979); Iwan Simatupang dengan buah karyanya: Ziarah (1968), Kering
(1972), Merahnya Merah (1968), Keong (1975), RT Nol/RW Nol, Tegak Lurus Dengan
Langit; M.A Salmoen dengan buah karyanya: Masa Bergolak (1968); Parakitri Tahi
Simbolon dengan buah karyanya: Ibu (1969); Chairul Harun dengan buah karyanya: Warisan
(1979); Kuntowijoyo dengan buah karyanya: Khotbah di Atas Bukit (1976); M.
Balfas dengan buah karyanya: Lingkaran-lingkaran Retak (1978); Mahbub Djunaidi dengan
buah karyanya: Dari Hari ke Hari (1975); Wildan Yatim dengan buah karyanya:
Pergolakan (1974); Harijadi S. Hartowardojo dengan buah karyanya: Perjanjian
dengan Maut (1976); Ismail Marahimin dengan buah karyanya: Dan Perang Pun Usai
(1979); Wisran Hadi dengan buah karyanya: Empat Orang Melayu, Jalan Lurus.
7. Angkatan
1980 - 1990an
Hilman Hariwijaya penulis cerita remaja pada dekade 1980 dan 1990 Karya
sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan
banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa
tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar
luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara
lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira
Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat,
Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan
Tajuddin Noor Ganie. Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita
Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya
antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati,
dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang
ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol
dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh
utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel
Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh
utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme,
karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu
lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh
generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih
berat. Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia
yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah
Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an: Ahmadun Yosi Herfanda dengan
buah karyanya: Ladang Hijau (1980), Sajak Penari (1990), Sebelum Tertawa
Dilarang (1997), Fragmen-fragmen Kekalahan (1997), Sembahyang Rumputan (1997);
Y.B Mangunwijaya dengan buah karyanya: Burung-burung Manyar (1981), Darman
Moenir, Bako (1983), Dendang (1988); Budi Darma dengan buah karyanya: Olenka
(1983), Rafilus (1988); Sindhunata dengan buah karyanya: Anak Bajang Menggiring
Angin (1984); Arswendo Atmowiloto dengan buah karyanya: Canting (1986); Hilman
Hariwijaya dengan buah karyanya: Lupus - 28 novel (1986-2007), Lupus Kecil - 13
novel (1989-2003), Olga Sepatu Roda (1992), Lupus ABG - 11 novel (1995-2005);
Dorothea Rosa Herliany dengan buah karyanya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari
yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur
Daun Zaitun (1999); Gustaf Rizal dengan buah karyanya: Segi Empat Patah Sisi
(1990), Segi Tiga Lepas Kaki (1991), Ben (1992), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta
(1999); Remy Sylado dengan buah karyanya: Ca Bau Kan (1999), Kerudung Merah
Kirmizi (2002); Afrizal Malna dengan buah karyanya: Tonggak Puisi Indonesia
Modern 4 (1987), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Cerpen-cerpen Nusantara
Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Arsitektur Hujan (1995),
Pistol Perdamaian (1996), Kalung dari Teman (1998).
8. Angkatan
Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke
BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul
wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini
ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang
bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi.
Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka
rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas
pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak
bertema sosial-politik. Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial
dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde
Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel --
pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam
Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya,
juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka. Penulis
dan Karya Sastra Angkatan Reformasi: Widji Thukul dengan buah karyanya: Puisi
Pelo, Darman.
9. Angkatan
2000-an
Andrea Hirata salah satu novelis tersukses pada dekade pertama abad ke-21
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun
tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun
Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan
Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya
diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair,
cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam
Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti
Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang
muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000: Ahmad Fuadi dengan buah karyanya:
Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna (2011); Andrea Hirata dengan buah karyanya:
Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), Maryamah Karpov
(2008), Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010); Ayu Utami dengan buah karyanya: Saman (1998), Larung
(2001); Dewi Lestari dengan buah karyanya: Supernova 1: Ksatria, Puteri dan
Bintang Jatuh (2001), Supernova 2: Akar (2002), Supernova 3: Petir (2004),
Supernova 4: Partikel (2012); Habiburrahman El Shirazy dengan buah karyanya:
Ayat-Ayat Cinta (2004), Diatas Sajadah Cinta (2004) , Ketika Cinta Berbuah
Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007),
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007), Dalam Mihrab Cinta (2007); Herlinatiens dengan
buah karyanya: Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), Dejavu, Sayap yang Pecah
(2004), Jilbab Britney Spears (2004), Sajak Cinta Yang Pertama (2005), Malam
Untuk Soe Hok Gie (2005), Rebonding (2005), Broken Heart, Psikopop Teen Guide
(2005), Koella, Bersamamu dan Terluka (2006), Sebuah Cinta yang Menangis (2006);
Raudal Tanjung Banua dengan buah karyanya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003),
Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu
(2005); Seno Gumira Ajidarma dengan buah karyanya: Atas Nama Malam, Sepotong
Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai Cybersastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra
Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya
(Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit,
maupun situs pribadi.
Referensi:
1. ^ Ricklefs, M.C.
(1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 117.
2. ^ Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (1991). Ringkasan dan
Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. hlm. 370.
3. ^ Yudiono (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo. hlm. 167l : Topik Indonesia Sejarah Nusantara • Prasejarah •
Kerajaan Hindu-Buddha • Kerajaan Islam • Era Portugis • Era VOC • Era Belanda •
Era Jepang • Era Kemerdekaan Sejarah Indonesia • Sejarah nama Indonesia •
Proklamasi • Masa transisi • Era Orde Lama (Dekrit Presiden • Demokrasi
Terpimpin • Gerakan 30 September) • Era Orde Baru (Supersemar • Integrasi Timor
Timur • Gerakan 1998) • Era reformasi Geografi • Bendungan & Waduk • Danau
• Gunung & pegunungan • Gunung berapi • Laut • Pulau & kepulauan •
Selat • Sungai • Tanjung & ujung • Teluk • Titik-titik garis pangkal
Politik dan pemerintahan • Pemerintah • Presiden • Kementerian • MPR • DPR •
DPD • MA • MK • KY • BPK • Perwakilan di luar negeri • Kepolisian • Militer •
Lembaga pemerintahan • Administratif (Provinsi • Kabupaten/kota • Kecamatan dan
kelurahan/desa) • Hubungan luar negeri • Hukum • Undang-Undang • Pemilu •
Partai politik • Kewarganegaraan Indonesia Ekonomi • Perusahaan • Pariwisata •
Transportasi • Pasar modal • Bank • BUMN • BEI • BBJ Demografi • Suku • Bahasa
• Agama • Nama Indonesia • Tokoh Budaya • Seni (Film • Tari • Sastra • Musik •
Lagu) • Masakan • Mitologi • Pendidikan • Olahraga • Busana daerah • Arsitektur
(Bandar udara • Pembangkit listrik) • Warisan budaya (Wayang • Batik • Keris •
Angklung) Simbol • Sang Saka Merah Putih • Garuda Pancasila • Ibu Pertiwi •
Nusantara Flora fauna • Fauna • Flora • Bunga • Binatang • Burung • Ikan •
Tumbuhan • Cagar alam • Suaka margasatwa • Taman nasional • Terumbu karang •
Kebun raya Lainnya • Media • Telekomunikasi (Televisi nasional • Televisi
lokal) • Tanda kehormatan • Kode telepon • Kode kendaraan • Hari penting
Ketika pembelajaran yang guru berbentuk teks panjang seperti di atas,
dengan keberagaman kemampuan siswa dalam menyerap ilmu pelajaran akan
mempersulitkan siswa yang memiliki kemampuan menyerap ilmu rendah. Nah, seorang
guru harus mampu memfasilitasi siswa agar dapat menyerap pelajaran secara
optimal, salah satunya yaitu dengan menggunakan mind mapping. Dalam satu gambar
sudah mampu mewakili teks yang panjang dengan tanpa mengurangi bobot dan
informasi teks tersebut. Kita sebagai calon guru mari Kita tingkatkan
kreativitas kita sebagai fasilitator pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar