KITA







Senin, 25 November 2013

MAKALAH

SINERGI ORANG TUA DAN GURU DALAM  PEMBINAAN GENERASI PENERUS BANGSA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia 1
Dosen Pengampu: Dr. Sunarti, M. Pd.



Disusun oleh:
Nining Purwaningsih
A3-12
12144600104

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

2013




Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Bahasa Indonesia 1 ini tepat pada waktunya. Semoga kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian selalu terlimpahkan kepada kita semua.
Penulisan makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dari Ibu Dr. Sunarti, M.Pd., mata kuliah Bahas Indonesia 1. Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis mengangkat judul “SINERGI ORANG TUA DAN GURU DALAM PEMBINAAN GENERASI PENERUS BANGSA”.
Tersusunnya makalah ini tidak terlepas akan motivasi dan dukungan dari keluarga, sahabat, dan rekan-rekan seperjuangan, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengakui masih ada banyak kekurangan. Tak ada gading yang tak retak. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran guna tercapainya kesempurnaan makalah sebagai pijakan dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca guna menambah ilmu dan pengetahuan serta bisa bersama-sama mengamalkan isi makalah ini.

Yogyakarta, 16 Januari 2013

Penulis



Halaman





Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukannya di masyarakat, bangsa dan negara.
Ada banyak cara, banyak teknik yang bisa dibahas di dalam pola mendidik anak, seperti halnya bagaimana mendidik anak sesuai dengan karakter yang berbeda-beda, gaya belajar yang berbeda-beda, dan juga kemampuan berpikir yang berbeda-beda. Oleh karena itu guru tidak boleh  merasa mudah putus asa, bosan, mengeluh, untuk selalu belajar agar dapat memberikan pembelajaran yang terbaik untuk muridnya. Sementara para guru meningkatkan kualitas mengajarnya, peran orang tua dalam mendidik anak tidak boleh diabaikan. Karena sesungguhnya orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak.
Oleh karenanya pada  makalah ini akan dibahas tentang sinergi, kerja sama antara orang tua dan guru dalam membina generasi penerus bangsa dalam dunia pendidikan.


1.      Bagaimanakah peran guru dalam dunia pendidikan?
2.      Bagaimanakah peran orang tua dalam mendidik anak?
3.      Bagaimanakah kekuatan sinergi orang tua dan guru?

1.      Menjelaskan peran guru dalam dunia pendidikan.
2.      Menjelaskan peran orang tua dalam mendidik anak.
3.      Menjelaskan kekuatan sinergi orang tua dan guru.




















 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar tercipta keaktifan dalam pengembangan diri sehingga spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan peserta didik terpenuhi bagi dirinya di masyarakat dan bangsanya (UU tentang Sisdiknas, UU RI No 20 Tahun 2003).
Sejatinya, jika kita menilik berbagai sumber yang menjadi acuan tentang pendidikan, maka peran pendidik menjadi seolah-olah memiliki peran sentral. Sehingga menjadi sebuah tuntutan juga bagi pendidik yang lebih akrab disebut guru, dalam mayoritas literatur disebutkan bahwa guru mesti memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.
Dalam pasal 8 UU RI No 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen memang dinyatakan bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU tentang Sisdiknas Bab I pasal 1 ayat 2).
Kualifikasi akademik semestinya tidak hanya diinterprestasikan bahwa guru yang bersangkutan haruslah lulusan dari keilmuan yang diajarkannya. Kalaupun harus, maka itu hanya menjadi syarat minimal. Kualifikasi akademik mestinya dinisbatkan dari kualifikasi sang guru terhadap keilmuan yang akan diajarkannya, berdasarkan study otodidak sekalipun. Otomatis guru tersebut layak disebut kompeten dan layak diapresiasi dengan Sertifikat atau KMM (Kelayakan Mendidik Manusia).
            Maka sejauh ini, konsep yang dikemukakan tentang guru dalam dunia pendidikan formal jelas adanya. Seseorang guru yang memiliki panggilan jiwa untuk membentuk generasi penerus yang pancasilais sesuai tuntunan UUD (bukan ujung-ujungnya duit). Menancapkan keteguhan akan nilai agama yang dianut serta budaya yang berkolaborasi dengan kearifan lokal atau  kultural, nasional maupun budaya-budaya serapan yang positif yang masuk ke wilayahnya. Memberikan sensitifitas yang otomatis menjadikan peserta didiknya peka terhadap segala inovasi yang berkembang sehingga mampu berperan serta dalam perkembangan zaman.
“Teachers teach more by what they are than by what they say.” - Guru mengajarkan lebih dari apa yang mereka katakan” (Anonim). Di Indonesia , Guru pada umumnya merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Namun bila dicermati asal kata Guru dari akar kata bahasa Sanskerta, arti harfiahnya adalah “berat”.
Guru dalam terminologi ideal adalah bukan sekedar sebuah profesi yang memerlukan kepiawaian akademik untuk menebarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki kepada murid-muridnya. Hubungan Guru-murid menjadi sakral karena bukan saja tugas seorang guru itu sekedar mengajar, melainkan juga mendidik suatu hal yang positif sebagai bekal murid-muridnya di masa depan. Kehidupan modern saat ini sedikit banyak telah menggeser nilai-nilai pendidikan anak bangsa menuju sebuah penilaian kaku atas profesi guru. Pengerdilan makna kerap dilakukan entah sengaja atau tidak, oleh lingkungan yang semakin berubah.
Menjadi Guru efektif sering dinilai dari berbagai sudut pandang, namun Menurut Davis & Margareth A. Thomas  dalam karyanya Effective Schools and Effective Teachers, Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan  tentang perilaku guru yang efektif, yang rumusannya mencakup 4 hal:
Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan suasana belajar dan mengajar, dalam hal ini Guru sudah seharusnya memahami atmosfir pendidikan yang mencerahkan, mampu membangun kebersamaan, mendidik dengan hati, mampu mengelola konflik dengan bijaksana, menularkan karakter saling menghargai dan menghormati.
Kedua adalah yang terkait dengan strategi pengelolaan pendidikan yang baik, mendidik adalah interaksi yang bernuansa pengulangan ajaran, seperti kata bijak Howard Nemerov, “A teacher is a person who never says anything once”- seorang guru adalah orang yang tidak pernah mengatakan apapun satu kali- seorang Guru dituntut untuk mampu menjadi penyabar, karena boleh jadi ia harus selalu mengulang-ulang perkataannya demi sebuah hasil pengajaran yang sempurna. Lalu mengajarkan peserta didik untuk berinteraksi dengan tingkatan atau pola berfikir yang berbeda (out of the box thinking).
Ketiga, kemampuan dalam hal memberi feedback atau umpan balik kepada peserta didik, ini atas dasar kesadran bahwa kemampuan anak manusia untuk menerima mata ajar ataupun menyerap proses mendidik tentu saja berbeda beda, untuk itu diperlukan kesdaran akan pentingnya hubungan yang harmonis diantara Guru selaku pendidik dengan murid sebagai peserta didik.
Keempat, ialah terkait pada kemampuan peningkatan kinerja diri (self performance) Guru yang bersangkutan, termasuk melatih untuk inovatif serta kreatif termasuk membangun network di lingkungan profesi pendidik. Jadi kesimpulannya menjadi seorang Guru amatlah berat, apalagi untuk berprofesi secara efektif. Karena disamping diperlukan penguasaan akademik yang baik, Guru juga dituntut untuk memainkan peran selaku pendidik bukan sekedar pengajar. Satu hal yang menarik disampaikan oleh Dearick Meador, bahwa Guru harus pula “ menunjukkan sikap peduli, proaktif serta mampu menjadi komunikator yang baik” (Qualities of an Effective Teacher, Ten Qualities of an Effective Teacher –teaching.about.com 2012)- Namun semua itu bukan hal yang terlampau sulit untuk dicapai oleh Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa kedepan, jika ada kemauan untuk itu perlu difahami dengan cerdas bahwa menjadi guru efektif itu bukan hanya sekedar mengajar melainkan mendidik.
Sungguh menjadi Guru adalah sebuah profesi yang sangat penting dan mulia, guna melahirkan manusia-manusia yang berkualitas, menjadi Insanul kamil, karenanya menjadi Guru itu menuntut sebuah kesempurnaan peran, sebagaimana ungkapan anonim diatas, “Teachers teach more by what they are than by what they say”. Maka peran Guru dalam dunia pendidikan yaitu:
Tujuan dari pendidikan bukan hanya transfer ilmu, membuat murid pandai menghafal, pandai  menulis, pandai membaca, melainkan juga harus ada perubahan tingkah laku dan moral murid menjadi lebih baik. Oleh karena itu didalam mendidik murid, guru harus benar-benar menanamakan pendidikan moral kepada murid.
Selain itu dibutuhkan guru yang memiliki kepribadian luhur dan mulia agar dapat menjadi teladan bagi muridnya. Guru adalah pihak kedua setelah orang tua dan keluarga yang paling banyak berinteraksi dengan murid. Guru sangat berpengaruh dalam perkembangan seorang murid. Terlebih sebagai makhluk sosial sorang murid memiliki kecenderungan untuk mencontoh.
Oleh karena itu seorang guru tidak boleh menjatuhkan kehormatan pribadinya di depan murid dengan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kriteria perilaku seorang guru. Perilaku guru dalam mengajar akan memengaruhi motivasi belajar pada murid. Dalam mendidik murid, seorang guru tidak boleh hanya sebatas kata-kata, melainkan harus diaplikasikan dalam bentuk perilaku, tindakan, dan contoh-contoh yang baik. Karena sejatinya perilaku itu lebih banyak dicontoh daripada sekedar kata-kata.
Dalam mendidik murid, guru harus jeli memperhatikan keunikan dan karakter dari murid-murinya yang tentunya berbeda-beda. Dengan cara mengenali keunikan dan karakter masing-masing murid, guru dapat memperlakukan anak didiknya dengan lebih tepat. Adapun beberapa keunikan (perbedaan) yang dimiliki murid antara lain:
(a)    Perbedaan fisik
Antara murid satu dengan yang lain tentu mempunyai perbedaan dalam fisik. Terlebih yang harus diperhatikan guru adalah perbedaan fisik yang menonjol pada muridnya, seperti bentuk fisik yang tidak sempurna atau karena pengaruh etnis. Yang harus diperhatikan ialah guru dilarang menggunakan fisik sebagai bahan bercanda terlebih olok-olokan. Termasuk jika ada murid yang mengolok-olok atau memanggil temannya dengan menyangkut fisik, guru harus menegur.
Termasuk memahamai perbedaan fisik, hendaknya guru tidak pilih kasih dalam menerapkan pelajaran hanya kepada yang memiliki fisik lebih sempurna, misalnya guru laki-laki cenderung lebih senang memperhatikan murid perempuan, begitu pula sebaliknya. Guru harus berlaku adil pada seluruh muridnya, terlebih bagi murid yang meimiliki keterbatasan fisik, tentu perhatian dari seorang guru sangat dibutuhkan.
(b)   Perbedaan Kecerdasan
Kemampuan menyesuaikan penyampaian dengan tingkat kecerdasan murid adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Kemampuan ini sangat diperlukan karena akal dan tingkat kecerdasan setiap murid berbeda-beda. Guru hendaknya tidak mudah memberikan label negatif pada murid yang belum paham mengenai materi yang disampaikan. Terlebih mengeluarkan kata, “Kamu bodoh, seperti ini saja tidak bisa”. Termasuk menyangkut nama orang tuanya, seperti, “Masak anaknya dosen begini saja tidak bisa”. Karen bisa jadi anak yang belum paham terhadap materi yang disampaikan bukan karena keceerdasannya kurang, tapi mungkin karena gurunya sendiri yang belum bisa memberikan penyampaian yang baik.
Guru jangan cepat putus asa dengan kondisi murid yang memiliki kekurangan, harusnya hal seperti itu dijadikan sebagai tantangan untuk mencari formula, cara terbaik agar murid yang memiliki kekurangan bisa semakin faham. Guru harus tetap optimis, jangan belum apa-apa sudah mundur dari medan laga, dnegan mengatakan, “Ah, bagaimana bisa pintar, kalau model anaknya saja seperti ini”, guru yang hebat itu bukan guru yang mengajar murid yang sudah pintar, melainkan guru yang bisa mengajar murid yang belum tahu menjadi tahu, dan yang sudah tahu semakin tahu.
(c)    Perbedaan karakter
Secara umum, karakter yang bisa dimiliki seorang anak antara lain aktif, pemalas, semangat, mudah tersinggung, pemberani, penakut, periang, pendiam, suka berinteraksi, menyendiri, dan lain-lain. Guru harus pandai-pandaimenganalisis karakter anak didiknya. Tentu saja beda karakter beda penanganannya.
(d)   Perbedaan gaya belajar
1.      Gaya belajar tipe visual.
a.       Fisiologi
·   Melihat informasi dengan melihat ke atas (gerakan bola mata ke atas).
·   Pandangan muka ke atas.
·   Tangan bergerak di atas dada.
·   Nada suara tinggi.







b.      Karakteristik
·   Kata-kata yang sering dipakai: melihat, membayangkan, gambaran, dan lain-lain.
·   Teratur, memperhatikan segala sesuatu, memperhatikan penampilan.
·   Saat komunikasi senang menatap wajah lawan bicara.
·   Memperhatikan gerak-gerik lawan bicara.
·   Bicara cepat, kurang suka menjadi pendengar.
·   Kebanyakan lupa nama orang yang dikenal, tapi ingat wajahya.
·   Berpenampilan bersih dan rapi.
c.       Strategi Mengajar
·   Menggunakan warna (tidak hanya hitam).
·   \menggunakan ekspresi wajah dan tubuh.
·   Sering menggunakan gambar-gambar.
·   Menjelaskan dengan mencoret-coret.
·   Menggunakan kata kerja (predikat) visual.
2.      Gaya belajar tipe auditori
a.       Fisiologi
·   Gerakan bola mata sejajar telinga.
·   Suara jelas, punya ritme, dan teratur.
·   Bicara sedikit lambat dibanding tipe visual
·   Pandangan muka ke depan.
b.      Karakteristik
·   Peka terhadap suara.
·   Perhatian mudah terpecah.
·   Belajar dengan mendengarkan.
·   Membaca teks/menghafal dengan suara keras.
·   Kata-kata yang sering dipakai: mendengar, lirih, melengking, dan lain-lain.
·   Biasanya kurang memperhatikan lawan bicara, hanya fokus pada suara lawan bicara.
·   Pendengar yang baik.
·   Kebanyakan melupakan wajah orang yang ditemui, tapi hafal namanya.
c.       Strategi mengajar
·   Suara harus jelas.
·   Mainkan intonasi dalam berbicara.
·   Menggunakan pengulangan kata, minta anak menyebut kembali yang sudah dijelaskan.
·   Sesi tanya jawab dan diskusi.
3.      Gaya belajar tipe kinestetik
a.       Fisiologi
·   Gerakan bola mata ke arah bawah.
·   Suara cenderung berat.
·   Banyak gerak.
·   Tubuh cenderung menunduk.
b.      Karakteristik
·   Menyentuh orang yang berdiri berdekatan.
·   Menunjuk tulisan saat membaca.
·   Saat belajar sering menggunakan gerakan, misal: tangan menunjuk-nunjuk, dan berbain bolpoin.
·   Kata-kata yang sering digunakan: rasanya, keras, lembut, dan lain-lain.
·   Ketika berkomunikasi bisanya senang melakukan gerakan.
c.       Strategi mengajar
·   Melibatkan fisik/gerakan.
·   Menggunakan alat bantu/permainan.
·   Membuat simulasi/praktek.
·   Bermain peran.
·   Menghargai anak yang melakukan gerakan.
Agar murid selalu tertarik untuk mendatangi majelis pembelajaran, guru selalu menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi murid-muridnya. Nyaman di sini tidak harus mewah, tetapi bisa tercipta suasaana kondusif dan menyenangkan. Para guru harus kreatif memanfaatkan waktu, media, dan ruang yang ada. Misalnya, saat mengajar anak-anak menggunakan media-media kreatif seperti gambar, warna, games (tanya-jawab), dan cerita.
Karakter guru juga oerlu mendapat perhatian, terlebih yang perlu mendapat perhatian ialah wajah dan penampilan. Ekspresi wajah adalah salah satu cara menghidupkan komunikasi dengan anak. Wajah adalah sumber perhatian pertama ketika guru bertemu dengan anak didiknya dan pusat perhatian dalam komunikasi. Menatap mata anak sebagai bentuk penghrgaan terhadap dirinya. Dapat dibantu dengan mata yang berbinar, senyum yang lebar, dan ucapan yang membuat anak merasa dihargai.
Guru tidak merasa bosan untuk terus memotivasi murid-muridnya, memberikan apresiasi setiap anak mengalami kemajuan, menghindari menjatuhkan mental dan harga diri murid saat proses belajar-mengajar, dan tidak tunjuk hidung. Di luar kelas pun seorang guru menyempatkan berinteraksi dengan murid, tidak gengsi menegur sapa, menanyakan kabar, memberi tabungan perhatian pada murid. Sehingga murid merasa cocok, dekat dengan gurunya, kapan pun ada jam belajar murid akan senang hati mengikutinya.






Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak boleh menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai dengan norma-norma atau aturan di dalam masyaratakat.
Setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi manusia yang mampu berpikir dewasa dan bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.

Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah:
1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
2. Menjamin kehidupan emosional anak.
3. Menanamkan dasar pendidikan moral anak.
4. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama.
5. Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendoromg keberhasilan anak
6. Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.
7. Menjaga kesehatan anak sehingga dengan nyaman menjalankan proses belajar yang utuh.
8. Memberikan kebahagiaan dunia akhirat dengan memberikan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Allah, sebagai tujuan akhir manusia.
Fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan anak di sekolah:
1. Orang tua bekerja sama dengan sekolah sehingga  sikap anak terhadap sekolah    sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap sekolah, sehingga sangat dibutuhkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah yang menggantikan tugasnya selama di ruang sekolah.
2. Orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan menghargai segala usahanya. orang tua menunjukkan kerjasama dalam menyerahkan cara belajar di rumah, membuat pekerjaan rumah dan memotivasi dan membimbimbing anak dalam belajar.
3. Orang tua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi kesulitan belajar anak orang tua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan dimasuki dan mendampingi selama menjalani proses belajar di lembaga pendidikan.

      Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Beberapa aspek perkembangan yang mempengaruhi pendidikan anak yaitu, perkembangan kognitif serta perkembangan sosial (perkembangan nilai-nilai moral). Maka peran orang tua tersebut dapat diapresiasikan dengan:
Orang tua mengutamakan pendidikan agama untuk anak-anaknya bukan berarti mengesampingkan ilmu dunia. Pendidikan agama menjadi konteks ilmu yang membentengi anak-anak dalam berperilaku dalam sehari-hari bersamaan dengan norma-norma. Adapun dalam mengutamakan pendidikan agama, yang harus dilakukan orang tua kepada anaknya, antara lain:
a). Memantapkan akidahnya (keimanannya).
Tanpa akidah yang kuat, anak tidak akan mampu memagari dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif. Sebaliknya, dengan akidah yang kuat, ketahanan keimanan anak juga kuat. Orang tua itu ibarat arsitek yang seharusnya memiliki rencana dan strategi ke depan anaknya akan dijadikan seperti apa.
Tentu semua orang tua menginginkan anaknya jadi anak yang sukses, bahagia dunia-akhirat. Mayoritas orang tua menganggap hal terpenting saat ini adalah memikirkan masa depan anak. Anak harus jadi dokter, tentara, polisi, pejabat, dan berbagai profesi lainnya.
Hal itu tidak salah, hanya saja jika orng tua tahu, dengan dibekali akidah sejak kecil, saat dewasa nanti bukan hanya menjadi dokter, melainkan juga menjadi dokter yang alim dan berjiwa poenyayang; bukan hanya menjadi tentara dan polisi, melinkan juga menjadi tentara dan polisi yang alim dan berakhlak mulia; bukan hanya menjadi pejabat, tetapi juga menjadi pejabat yang alim, jujur, dan amanah.
Otomatis jika pada anak sudah ditanamkan akidah dari kecil, sebagai anak yang beriman dan berbakti kepada orang tua akan membalas budi baik dan membahagiakan orang tuanya di dunia sampai akhirat.
a)      Memperbaiki akhlaknya.
Sebagaimana akidah, pembinaan akhlak juga harus dilakukan sejak masa kanak-kanak. Tentu saja pembimbing utamanya adalah orang tua. Oleh karena itu orang tua hendaknya menyadari pengaruh keberadaan dan tingkah laku mereka terhadap perkembangan akhlak anak mereka.
Orang tua adalah yang pertama kali mengajarkan bagaimana anak berbicara dan bersikap. Orang tua adalah yang pertama dicontoh aleh anak dalam berperilaku. Akhlak dari anak tergantung bagaimana oran tua menyiapkan dan menanmkannya. Jangan sampai orang tua hanya menyalahkan lingkungan. Memang lingkungan sangat memengaruhi anak, terutama saat remaja, hanya saja jika dari kecil anak sudah berada di bawah pengawasan dan mendapatkan bimbingan dari orang tua, maka saat remaja anak akan lebih mudah mendapatkan bimbingan dari orang tua, maka saat remaja anak akan lebih mudah diarahkan.


b)      Merajinkan ibadahnya.
Setelah akidah dan akhlak anak kuat, orang tua selanjutnya menekankan pada aspek ibadah. Sekali lagi, orang tua juga harus memberikan contoh dan mendisiplinkan ibadahnya terlebih dahulu.
Saat ini ada banyak orang tua yang salah dalam mempraktekkan ilmu psikologi, di mana banyak buku, banyak pembicara yang mengatakan “Biarkan anak kita memilih jalan hidupnya sendiri”. Kalau anak-anak bisa memilih jalan hidupnya sendiri apa bedanya orang tua dengan binatang? Justru anak manusia diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kepada orang tua, untuk dibimbing dan diarahkan.
Di dalam dunia pendidikan sebainya orang tua mengarahkan (bukan membiarkan) anak untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya, orang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya. Contoh: orang tua mempunyai anak laki-laki dari kecil senang otak-atik motor, kemudian orang tua mengarahkannya ke jurusan otomotif bukan jurusan tata-boga. Orang tua mempunyai kewajiban dalam mendampingi dan mengarahkan anak-anaknya.
Anak adalah aset bagi orang tua, anak adalah investasi berharga bagi orang tua. Leh karena itu agar anak-anak bisa berhasil dalam dunia pendidikan, dibutuhkan dukungan biaya.
Perhatian orang tua kepada anaknya  tidaklah serta-merta berupa materi, melainkan orang tua bisa meluangkan waktunya untuk anak dan keluarganya. Apalah artinya bekerja dari pagi sampai malam, jika pada akhirnya waktu bersama anak dan keluarga tidak ada.
Meluangkan waktu di sini tidak harus sehari penuh, 1 jam yang bermanfaat dan berkualitas itu lebih baik daripada berjam-jam yang tidak bermanfaat. Meluangkan waktu di sini bisa dimanfaatkan untuk mengajari anak belajar, musyawarah keluarga, bertanya tentang kegiatn anak sehari-hari, bercengkerama, dan bermain bersama. Kelak anak akan bersyukur jika memiliki orang tua yang banyak meluangkan waktu untk bersama dan mendidik anaknya.
Selanjutnya dalam rangka perhatian orang tua kepada pendidikan anak-anaknya, komunikasi dengan guru dan pihak sekolah sangat dibutuhkan. Sebagai orang tua hendaknya terbuka kepada guru tentang kondisi anaknya, agar guru dapat memperlakukan anak sesuai dengan kondisinya.
Begitu pula orang tua hendaknya mensyukuri informasi yang didapatkan dari guru tentang anaknya, apabila guru melaporkan perkembangan yang tidak bak, hendaknya orang tua tidak merasa dijatuhkan, dijelek-jelekkan, justru malah disyukuri terlebih dulu berarti masih ada kesempatan untun membina dan merubah anaknya menjadi lebih baik.
Guru dan orang tua adalah dua petani ilmu yang berbeda lahan persemaian, yakni sekolah dan keluarga. Mereka perlu bersinergi, karena sama-sama bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan dan masa depan para generasi penerus  bangsa.
Sinergi dalam konteks mendidik dapat diartikan suatu bentuk kerjasama yang harmonis untuk menanam benih-benih pengetahuan. Kerja sama tersebut dijabarkan dalam program-program realistis yang dapat diimplementasikan secara kontinyu, dengan gerak yang sinkron, serta konsisten.
Sinergi dibutuhkan untuk menghindari sikap saling menyalahkan saat menemui kenyataan bahwa banyak kerikil tajam yang menghambat proses pendidikan. Sekolah tidak boleh melemparkan kesalahan begitu melihat kurangnya dasar-dasar pengetahuan yang dibangun oleh keluarga. Orang tua juga dilarang menyudutkan pihak sekolah, ketika menyaksikan kepandaian anak tidak sesuai dengan yang diharapakan. Bagaimanapun, seperti telah diyakinkan oleh Mochtar Buchori (2006), pendidikan akan lebih menemui kesempurnaan bila dilaksanakan oleh sekolah dan keluarga.
Namun dalam prakteknya sering dijumpai ketidakharmonisan antar pendidik. Mereka tidak menyadari bahwa harmonisasi akan menyatukan energi sehingga menciptakan tenaga dan spirit yang lebih besar dalam mendidik.

Misalnya dalam memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai. Dari perspektif cara mengajar, guru berpandangan bahwa nilai-nilai (termasuk religius) tidak ada bedanya dengan ilmu lain, yang tuntas diberikan pada tahap aktivitas belajar di kelas. Sedangkan pada pengertian orang tua, nilai-nilai merupakan sikap atau sifat yang mesti diterapkan dalam perilaku sehari-hari.
Keduanya bisa benar bisa salah. Prestasi pendidikan nilai memang dapat diukur dari seberapa besar anak mampu melaksanakan nilai-nilai dalam kehidupannya. Namun bila pelaksanaan nilai tersebut tanpa didasari dengan teori keilmuan, maka pemahaman anak tentang nilai sebatas kulit luarnya. Anak tidak tahu apa arti dan mengapa nilai tersebut perlu diterapkan.
Pada kasus lain, akibat guru yang kurang mengikuti perkembangan didaktika, dia menerapkan standard mendidik sama seperti masa kecilnya. Sementara orang tua ada yang justru telah mengetahui bagaimana metode pendidikan modern dan motivasi yang dapat mengembangkan potensi anak secara maksimal. Akibatnya, saat orang tua berusaha membangun karakter, menggali potensi dan kepercayaan diri, ada guru yang malah merusaknya dengan berbagai sikap atau perkataan yang melemahkan dan menyinggung harga diri si anak, atau tanpa disadari menciptakan suasana belajar-mengajar di sekolah menjadi sangat membosankan.



Pada situasi lain, guru berusaha memacu pengetahuan akademik. Sementara itu, karena banyak orang tua yang kurang memiliki pengetahuan akademik maka keinginan anak untuk belajar di rumah dengan bimbingan orang tuanya tidak terlunasi.
Akibat cara mendidik yang tidak sinkron, anak tenggelam dalam kebingungan. Mana yang mesti diserap, mana yang benar dan yang salah. Sehingga, saat anak terjerembab di lingkungan dengan perilaku serta budaya yang cenderung negatif akibat laju globalisasi, mereka tidak bisa memutuskan mana yang baik dan yang buruk.
Sinergi sangat penting untuk mencapai persamaan persepsi. Pemahaman yang rancu tentang cara mendidik serta perbedaan pengertian mengenai sebuah pengetahuan bisa diminimalkan. Para generasi bangsa memahami setiap pengetahuan secara mendalam, mendetail dan kompleks.
Sinergi membentuk kesempurnaan pengertian mengenai suatu pengetahuan, bagi para pen- didik sendiri. Mereka bisa saling melengkapi dan mengingatkan bila ada kekurangan. Dengan saling mengingatkan, kesalahan-kesalahan dapat segera diperbaiki supaya tidak berpengaruh buruk bagi perkembangan anak.
Sinergi juga berguna untuk mengetahui sedini mungkin problematika yang mendera anak untuk ditemukan solusinya. Kondisi ini membebaskan anak dari gempuran persoalan yang membata- si gerak perkembangannya. Terapi penyembuhan terhadap persoalan seorang anak membutuhkan kerjasama yang kuat antara guru dengan orang tua, supaya penanganannya tidak berbenturan. Guru dan orang tua perlu saling mendukung dan menguatkan dalam menghadapi problema anak.
Dengan sinergi, keduabelah pihak bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan anak. Mereka sama-sama memiliki persepsi membangun kemampuan dan pribadi anak, dan bukannya saling menjatuhkan.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencapai sinergi yang positif. Bentuk yang paling sederhana dan sering dilakukan adalah pertemuan rutin antara guru dengan orang tua. Pertemuan ini penting dilaksanakan, untuk mencapai kompromi-kompromi dalam mendidik.
Bentuk lain dari sinergi ini ialah dengan bertukar informasi mengenai perkembangan anak. Tahap-tahap penyampaian materi pengetahuan juga perlu dikomunikasikan, agar keduanya memberikan porsi atau tingkatan pengetahuan secara berimbang kepada anak. Yang penting digaris bawahi dalam sinergi ini, selain dikembangkannya koordinasi, juga perlu dibangun suasana harmonis antar pendidik. Diusahakan agar anak dapat melihat bahwa dua sosok yang sangat dihormati memberikan pengertian, pengetahuan dan contoh yang sinkron serta konsisten.


Secara psikologis anak confidence menerima segala informasi dari guru dan orang tuanya. Benturan mental yang mungkin terjadi karena ketidaksinkronan para pendidiknya dapat dihindarkan. Anak terbebas dari konflik batin, kemampuan untuk menganalisa dan memutuskan di antara berbagai pilihan menjadi terasah tajam. Generasi-generasi bangsa tumbuh menjadi pribadi yang sempurna.
Sinergi penting, sebagai perwujudan tanggung jawab bersama dalam mencapai keberhasilan pendidikan anak. Sinergi menjadi wahana bagi para pendidik untuk membangun kekuatan serta menyatukan energi dalam membentuk generasi bangsa yang berkualitas.
Sinergi merupakan momen untuk mencapai persamaan persepsi dan menyempurnakan kemampuan dalam mendidik, serta mendeteksi sedini mungkin ketidakberdayaan anak dalam menghadapi gempuran persoalan.
Sinergi dapat mencegah aksi lempar kesalahan ketika muncul duri-duri yang menghambat kegiatan pendidikan. Sekolah tidak akan menyalahkan saat melihat rapuhnya pondasi karakter yang dibangun oleh keluarga, orang tua juga tidak perlu menyudutkan pihak sekolah ketika muatan pengetahuan anaknya tidak sesuai yang diimpikan.
Sinergi akan membangun kepercayaan anak terhadap dua sosok pendidik yang sangat dihormati -- guru dan orang tua -- karena mereka memberikan pengertian, pengetahuan, bimbingan dan contoh yang sinkron serta konsisten.
Tidak perlu lagi dilema dengan pertanyaan siapa yang benar antara guru dan orang tua. Sinergi bisa menciptakan suasana yang lebih kondusif dan ruang yang lebih luas, bagi penggalian serta penyuburan potensi-potensi anak. Orang tua bisa tahu potensi anak mereka setelah mendapat informasi dari guru. Sekolah juga dapat mengembangkan secara maksimal talenta anak didiknya setelah mengetahuinya dari orang tua.
Pada prakteknya, kegagalan sinergi antar pendidik terjadi akibat sikap tidak peduli. Orang tua merasa telah mengeluarkan kocek besar untuk membiayai pendidikan. Sehingga, mereka terkesan “pasrah” pada pihak sekolah. Pihak guru juga merasa kewajiban mereka sebatas area sekolah, sehingga tidak perlu masuk ke teritorial keluarga. Di luar lingkungan sekolah, orang tua yang bertanggung jawab.
Tanpa sinergi akan muncul ketidaksinkronan antar pendidik. Ada orang tua yang berusaha memotivasi dan mengembangkan potensi anak, namun guru malah merusaknya dengan sikap atau perkataan yang membenamkan motivasi siswa. Sebaliknya, pada saat guru berusaha mematrikan nilai-nilai luhur di kelas, di rumah anak menemui suasana keluarga yang berantakan, perpecahan, menyimpang jauh dari nilai yang diajarkan di sekolah.
Akibatnya, anak terbelenggu dalam kebingungan, mana yang mesti diikuti. Sehingga saat terjerembab pada kubangan lingkungan yang negatif, anak tidak mampu bangun untuk memilih dan memutuskan secara benar mana yang baik dan yang buruk.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menjalankan sinergi yang positif. Bentuk yang paling sederhana dan sering dilakukan adalah pertemuan rutin antara guru dengan orang tua untuk mencapai kompromi-kompromi dalam mendidik. Kemudian juga, secara aktif saling bertukar informasi mengenai perkembangan anak, persoalan yang terjadi, dan perkembangan materi pengetahuan yang telah diberikan, agar keduanya memberikan porsi pendidikan secara berimbang.
Yang penting dikedepankan dalam sinergi ini adalah dikembangkannya koordinasi untuk membangun suasana harmonis dalam mendidik. Sehingga, beban yang dipikul terasa lebih ringan, karena aktivitas dilakukan bersama-sama.












1.    Menjadi Guru adalah sebuah profesi yang sangat penting dan mulia, guna melahirkan manusia-manusia yang berkualitas, menjadi Insanul kamil, “Teachers teach more by what they are than by what they say”.
2.      Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak, disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
3.      Orang tua dan guru adalah dua petani ilmu yang berbeda lahan persemaian, yakni sekolah dan keluarga. Mereka perlu bersinergi, karena sama-sama bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan dan masa depan para generasi bangsa.
1.      Orang tua dan guru ibarat dua sisi mata uang. Hal itu tidak akan ada nilainya apabila salah satu sisinya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, sinergi antara orang tua dan guru memang perlu ditingkatkan.
2.      Guru hendaknya menjadi suri tauladan bagi murid-muridnya dan orang tua terus berkarya, memberikan contoh, meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan harta guna mensukseskan pendidikan anak-anaknya.


Akbar, Akmaluddin. 2011. The Art of Teaching. Kediri: CAI PERMATA
Akbar, Akmaluddin. 2012. Maha Dahsyat Sinergi Orang Tua dan Guru. Kediri: CAI PERMATA
Santoso, Lukman. 2011. Ibu-Ibu Hebat Pencetak Orang-Orang Besar. Yogyakarta: Diva Press
Ruli, Mustafa. 2012. Seni Mendidik yang Efektif dan Peran Guru. (Online), (http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/08/diakses tanggal 31 Desember 2012)
Sigit. 2012. Sinergi Menyatukan Energi dalam Mendidik. (Online), (http://siget3946.blogspot.com/2012/11/diakses tanggal 01 Januari 2013)
Setyono, Gus. 2008. Sinergi Menyatukan Energi Dalam. (Online),
Geriasa, I Made. 2009. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak. (Online), (http://www.denpasarkota.go.id/2009/09/diakses tanggal 01 Januari 2013)
Grafura, Lubis. 2012. Sinergi dalam Dunia Pendidikan, (Online), (http://GuruPatriot.blogspot.com/2012/03/30/diakses tanggal 01 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar